Rabu, 02 Oktober 2013

atjehpost.com: "Menjadi kaya dengan Asmaul Husna"

Karena pada dasarnya asmaul husna ialah nama lain dari Tuhan sang pencipta alam semesta ini yaitu Allah SWT.

         Rahasia membuka pintu rezeki dengan Asmaul Husna @istimewa

Judul Buku      : Rahasia Membuka Pintu Rezeki Dengan Asmaul Husna
Penulis             : Nur Rokhim
Penerbit           : Diva Press
Cetakan           : I, September 2013
Tebal               : 185 halaman
ISBN               : 978-602-7695-18-4
Peresensi     : Jumadi

ASMAUL Husna bagi umat Islam tentu bukan sebuah istilah yang asing. Karena pada dasarnya asmaul husna ialah nama lain dari Tuhan sang pencipta alam semesta ini yaitu Allah SWT. Namun sejauh mana umat Islam dalam mengenal nama Tuhannya, serta bagaimana umat Islam sejauh ini memahami isi kandungan dari asmaul husna tersebut. Mungkin buku ini lahir dari dasar pemikiran seperti itu.

Banyak dari umat Islam yang sebenarnya belum memahami betul isi kandungan dari asmaul husna. Sehingga, banyak dari umat Islam yang  jarang menggunakan asmaul husna dalam lantunan doanya. Padahal  jika dipahami lebih mendalam, disetiap nama ada maknanya tersendiri, bahkan mempunyai manfaat yang sungguh luar biasa bagi hamba yang mengamalkannya.

Contohnya saja buku yang ditulis oleh Nur Rokhim ini, bahwa asmaul husna dapat membuka pintu rezeki seseorang dengan mudah bahkan hingga berlimpah. Memang, rezeki tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus kita jemput dengan cara ikhtiar (bekerja). Meskipun semua makhluk hidup, khususnya manusia, telah diberi jatah rezeki oleh Allah SWT, tetapi mereka harus berusaha dengan cara menjemputnya (halaman 17).

Namun juga perlu digarisbawahi, bahwa rezeki bukanlah hanya yang berupa materi (kebendaan) un sich. Namun juga meliputi hal-hal non-materi (bukan kebendaan). Misalnya saja kesehatan, kecerdasan, kesempurnaan fisik, diberi umur yang panjang, pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan bidang seseorang, dan lain sebagainya (halaman 25). Oleh karena itu, kita wajib bersyukur atas apa yang sudah dikasih oleh Allah SWT atas usaha kita.
Allah SWT juga berjanji kepada hambanya yang senantiasa memanjatkan syukur, oleh-Nya akan ditambah nikmat yang lebih. Sebaliknya, bagi hamba yang senang mengingkari nikmat yang telah diberikan oleh-Nya maka bersiap-siaplah untuk meneriba siksaan yang pedih (halaman 33). Ada banyak cara untuk bersyukur kepada-Nya, diantaranya yaitu mengucapkan kalimat hamdalah (alhamdulillah), bersedekah, membantu sesama umat manusia, dan lain sebagainya.

Diakhir bab, buku yang berjudul  Rahasia Membuka Pintu Rezeki dengan Asmaul Husna juga memaparkan bagaimana manfaat yang luar biasa dari asmaul husna. Ya, salah satunya yaitu asmaul husna sebagai pembuka pintu rezeki. Oleh karena itu, dengan buku ini kita setidaknya bisa menjadi orang kaya hanya dengan mengamalkannya secara rutin (istiqomah) serta berusaha bekerja dengan ikhlas. Sehingga pintu rezeki itu akan benar-benar terbuka lebar bagi kita semua dan kelak menjadi sebuah kenyataan. Amin![] 

Jumadi, Pustakawan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[Resensi]: Jejak makrifat Syekh Siti Jenar

Nick Watt
Legendaris, kontroversial, sekaligus misterius. Itulah Syekh Siti Jenar. Kisah hidup dan kematiannya memiliki banyak versi.
Buku Jejak Makrifat Syeh Siti Jenar

Judul Buku      : Misteri Makrifat Syekh Siti Jenar
Penulis             : Agus Wahyudi
Penerbit           : Diva Press
Tahun              : 1, 2013
Tebal               : 174 halaman
Harga              : Rp38.000,-

Rabu, 25 September 2013 09:00:00 WIB: Legendaris, kontroversial, sekaligus misterius. Itulah Syekh Siti Jenar. Kisah hidup dan kematiannya memiliki banyak versi. Meski terus coba ditumpas, ajarannya tetap diperbincangkan dan digali. Hingga kini dia dianggap sebagai salah satu penyebar agama Islam di Jawa. Tapi, ajarannya berbeda dengan ajaran Wali Songa Namun, benarkah Syekh Siti Jenar seorang Wali yang murtad seperti penilaian Wali Songa? Ataukah justru Wali Songo yang keliru menafsirkan ajarannya? Apakah konflik antara kubu Wali Songa dan Syekh Siti merupakan persoalan ajaran agama atau perseteruan politik?

Buku ini membahas dua inti ajaran Syekh Siti Jenar: manunggaling hawula-Gusti dan memayu hayuning bawana dengan menguraikan pengertian Tuhan, manusia, alam semesta, kehidupan, dan kematian, melalui perbandingan dengan ajaran agama lain. Secara padat dan memikat, juga dibahas cara menemukan jati diri, meraih keseimbangan dan keselarasan, menguasai seni hidup, mengabdi dan melayani kehidupan, dan mencapai persaudaraan universal. Hidup sejati akan diraih apabila seseorang telah makrifat (mengenal) Tuhannya. Bermakrifat kepada Tuhan mustahil dicapai jika belum bermakrifat (mengenal) diri sendiri.

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit. Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syekh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syekh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka. Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad. Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun.

Buku ini mengupas tentang intisari ajaran makrifat, sebagai ajaran sinkretisme para leluhur yang sarat akan nilai-nilai kebatinan. Awalnya, wejangan-wejangan tersebut tercerai berai dan saling terpisah, sebelum akhirnya dikumpulkan menjadi satu oleh Kanjeng Sultan Agung Hanyakra Kusuma, Raja Agung Mataram. Para Wali tanah Jawa melarang penyebar luasan ajaran ini. Namun oleh Syekh Siti Jenar, kebijakan tersebut ditentang habis-habisan. Maka para Wali pun memperbolehkan untuk diajarkan, namun hanya kepada orang-orang tertentu saja. Hingga akhirnya, seorang pakar sufi kejawen bernama Raden Ngabehi Ranggawarsito menulis ulang dalam bentuk buku hingga bisa dibaca siapa saja yang berminta mendalaminya.
Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin Wali Songo yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat. Tak pelak, Azyumardi Azra berpendapat pemakzulan sejarah ini adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera.

Muhammad Bagus Irawan, pustakawan asal Jepara

Selasa, 01 Oktober 2013

Geger Ngoyak Macan Djoko Suud Sukahar - detikNews


Budayawan Djoko Suud

 Jakarta - Calon presiden saling berburu. Memburu orang yang digandrungi. Elektabilitas yang terus meninggi, maka Jokowi buruan itu. Digadang-gadang untuk disanding. Inilah geger ngoyak macan, yang seakan macan (kekuasaan) itu sudah berada dalam diri Jokowi. Tetapi mengapa etika dan rasionalisasi jadi ditanggalkan?

Sudah tiga calon yang memastikan diri siap bertarung memperebutkan posisi RI-1. Aburizal Bakrie dari Partai Golkar, Prabowo Subianto dari Gerindra, dan Wiranto dari Partai Hanura. Ada sekian lagi yang berhasrat, termasuk Hatta Rajasa dari PAN, dan Partai Demokrat yang akan melakukan konvensi. Hanya, selain ada yang belum punya kendaraan, juga masih ada yang belum tegas incaran posisi yang diinginkan. Capres atau cawapres.

Lembaga survei yang semuanya mengunggulkan Jokowi, menempatkan tokoh sumanak ini dalam incaran berbagai pihak. Yang tak kenal tiba-tiba merasa kenal, yang sudah kenal merasa akrab dan sangat akrab dengan mantan Wali Kota Solo itu. Kendati semua partai masih belum jelas memenuhi syarat atau tidak untuk mengusung jago.

Calon-calon pemimpin negeri ini sepertinya ngeper dengan popularitas Jokowi. Mereka merasa kalah sebelum berlaga. Tidak malu-malu mendekat, siapa tahu Jokowi terpikat. Dengan berbagai gaya para capres itu mengesankan berakrab-akrab ria. Dan malah ada yang melontarkan isu acap bertemu dan melakukan pertemuan dengan Jokowi yang kemudian dibantah.

Tingginya elektabilitas Jokowi memang layak untuk diperhitungkan para capres. Jika mungkin adalah menggandengnya. Namun jika tidak, maka Jokowi adalah lawan pertama yang harus ditaklukkan. Itu agar tidak menjadi batu sandungan saat pilpres mendatang, kalau Jokowi ikut nyapres.

Bagi partai lain selain PDIP, menggandeng Jokowi adalah muskil. Selain Jokowi kader partai banteng moncong putih itu dan loyal, inang (PDIP) Megawati Soekarnoputri juga dikenal sebagai tokoh teguh pendirian yang tidak gampang kompromi. Untuk itu berbagai isu yang muncul soal Jokowi akhir-akhir ini adalah misi memecah soliditas macan dari kandangnya. Menebar virus supaya Jokowi dan PDIP tidak mesra lagi.

Sampai hari ini Jokowi dan PDIP masih mampu bertahan dari berbagai gempuran itu. Dari blusukan yang dikritisi, dari 'adu-domba' melalui plintiran-plintiran kejadian yang tidak nyata, sampai ajakan Jokowi didampingkan dengan capres berbagai partai lain. Jika sikap 'istiqomah' ini terus berlanjut dan PDIP tidak salah langkah dalam pencapresan, maka pemilu tahun mendatang adalah milik partai ini. PDIP menang mutlak dan punya presiden.
Namun geger ngoyak macan tidaklah teduh dan tenang. Geger itu malah bisa sampai kepati-pati. Riuh pasti. Berseliweran intrik dan tekanan-tekanan, menciptakan suasana nglangut, tenang yang tegang, yang dalam pewayangan dibutuhkan pencairan suasana dengan perang kembang. Perang yang sudah diketahui siapa yang kalah dan siapa yang bakal menang.

Jokowi dan PDIP harus melakukan itu. Menjaga keharmonisan dan menciptakan kemesraan. Kalau ingin membangun dinamisme, maka perang kembang itu perlu dirancang. Perang-perangan, geger tidak sungguhan, kendati harus dihitung efek terhadap grass-root yang tidak paham rekayasa atau skenario dari sebuah 'permainan'.

Geger ngoyak macan memang akhirnya keluar dari etika dan rasionalisasi. Kesantunan hilang, akal sehat ditanggalkan. Lihat Partai Demokrat yang ribut menggelar konvensi yang tidak jelas capresnya mau dikemanakan jika terjaring nanti. Banyak pihak yang berharap diundang mengesankan, bahwa partai ini dianggap masih seperti dulu, menang dan punya suara yang cukup untuk mengusung calon. Padahal itu masalalu. Atau simak PKB yang berubah menjadi buku komik, Partai Satria Bergitar.

Sebagai penonton, saya suka dengan cucuran airmata melihat dinamisasi politik akhir-akhir ini. Itu karena lucu sekaligus pilu. Betapa bibit (sang calon) track-recordnya mayoritas kelabu (kalau tidak boleh disebut hitam), dan disemaikan (partai) di ladang yang gersang (bebet). Maka kalaulah tidak tepat jago yang terpilih, maka entah seperti apa bobot negeri ini di persaingan global.

Menjelang pemilu, terlalu banyak yang geger ngoyak (berebut) macan (kuasa). Yang berambisi itu tidak melihat layak tidaknya menampilkan diri sebagai kandidat. Kepentingan pribadi dominan, dan terbayang seperti apa kelak jika memerintah. Mereka tidak bercermin untuk melihat 'jithok e dewe'. Tidak membaca dirinya melalui penilaian orang lain.

Mumpung bulan puasa, mari kita berdoa agar Gusti Allah memilihkan pemimpin yang patut untuk negeri agraris yang dibanjiri produk impor ini. Itu agar kemandirian tidak hanya berbusa di mulut para pemimpin, tetapi dirasakan rakyat.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

Merapi & Keraton Mistik Jawa Djoko Suud Sukahar – Detik news


Djoko Suud Sukahar


Jakarta - Gunung Merapi meletus. Letusannya mengundang banyak tafsir. Di balik itu, Gunung Slamet dan Gunung Dieng di Jawa Tengah berstatus waspada. Juga Gunung Bromo dan Gunung Semeru di Jawa Timur. Tanda apakah gerangan?

Inilah kalkulasi mistik soal itu. Boleh percaya boleh tidak, tapi inilah kepercayaan sebagian masyarakat Jawa. Jika tidak percaya anggap ini bagian dari pengetahuan tentang budaya. Namun kalau percaya, begitulah nenek-moyang manusia Jawa melihat jaman ke depan melalui tanda-tanda. Dalam keyakinan Jawa, tertib jagat sangat penting. Itu dalil aksioma. Alam dan manusia ciptaanNya, dan satu serta yang lain tidak boleh mengganggu, gangguan bersifat destruktif. Sebab jika satu terganggu yang lain krodit. Dan kroditisitas itu bersifat cakramanggilingan. Berlaku asas roda pedati yang berputar. Pengganggu akan terganggu dan kena ganggu.

Dalam menggambarkan tertib dunia itu, manusia Jawa memampangkan melalui sketsa kuasa dan keraton. Keraton ini bisa ditafsir sebagai kerajaan atau negara. Keraton pertama disebut sebagai Keraton Manusia yang diperintah manusia. Keraton kedua adalah Keraton Api yang berupa gunung-gunung berapi. Dan keraton ketiga adalah Keraton Laut yang kekuasaannya di lautan.

Jika Keraton Manusia bisa ditafsir penguasanya sekarang adalah Sultan Hamengkubuwono X atau Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia yang bisa berganti-ganti, maka Kraton Api justru lebih permanen. Juga sinyal mistik yang ditangkap darinya.

Kraton Api ini dalam keyakinan itu terbagi dalam tiga grade. Grade pertama dipandegani trah Mataram dan trah Majapahit. Trah Mataram itu diidentifikasi manjing (tinggal) di Gunung Merapi. Itu tersurat jelas dalam babad, saat Pajang menyerang Mataram, Panembahan Senopati berbagi tugas dengan Ki Ageng Selo, dan Gunung Merapi meletus membinasakan pasukan Pajang (de Han & de Graff).

Sedang trah Majapahit manjing di Gunung Lawu. Itu bisa dirujuk dari keyakinan mokswa-nya Raja Brawijaya di Alang-Alang Kumitir di Candi Cetho, Jenawi, dan bukti sejarah Candi Sukuh sebagai area ritus sang raja sehabis lengser keprabon dan  madeg pandhito. (Turun tahta sebagai raja dan menjadi pendeta).

Kelak ketika Islam kian subur menjamur di Tanah Jawa, maka Gunung Lawu mendapat sebutan baru sebagai areanya Sunan Lawu, yang konotasinya sama, mimikri Brawijaya. Untuk apologia mitos ini, maka dalam serat digambarkan bagaimana prosesi Brawijaya masuk Islam yang tidak disetujui Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Brawijaya. Juga diikuti ancaman 'Sang Raja Demit' ini kelak membinasakan Tanah Jawa di lima ratus tahun sejak Brawijaya jadi mualaf. Padahal sejarah mencatat, Brawijaya wafat dan diperabukan di Candi Brahu.

Grade kedua adalah Keraton Api sekadar sebagai tanda. Gunung yang berfungsi seperti ini adalah Gunung Slamet yang bertindak sebagai tetenger (tanda) adanya kebaikan. Gunung Dieng sebagai tetenger nikmatnya mereka yang melakukan kebaikan yang disimbolisasikan dengan Istana Kahyangan. Dan Gunung Bromo sebagai tetenger penggembira. Amuk akan tambah njegadrah (berkobar-kobar) jika Gunung Merapi meletus diikuti dengan letusan Gunung Bromo. Kalau ini terjadi, maka dalam keyakinan Jawa ada kemungkinan suksesi di Tanah Jawa terrealisasi.

Sedang grade ketiga adalah Kraton Api sebagai kekuatan konstruktif, pinandito, dan gunung sepuh (tua). Gunung yang masuk kategori ini adalah Gunung Kelud yang berada di wilayah Kediri dan Blitar. Gunung ini diyakini sebagai manjing Raja Jayabaya yang akan datang di akhir jaman yang dijemput senopati Tunggul Wulung.

Nama ini acap dikaitkan dengan Kristenisasi di daerah Mojowarno. Tokoh asal Pati sebagai cikal-bakal Kristen Jawi Wetan itu menyebut dirinya Kiai Tunggul Wulung yang kelak ‘melahirkan’ Kiai Sadrach (1835) yang mengamalkan sinkretisme Kristen. Dia merasa terdapat kemiripan antara Nabi Isa dan Raja Jayabaya, serta melakukan dakwah itu setelah turun dari bertapa di Gunung Kelud (van Akkeren).

Gunung lain yang masuk klasifikisai gunung tua adalah Semeru. Gunung ini simbol kearifan, kesaktian, dan peredam gejolak amarah. Gunung Semeru diyakini tempat bertapanya Semar. Tokoh wayang ini merupakan personifikasi orang Jawa yang sempurna. Berwatak rendah hati, sederhana, ikhlas menerima suratan miskin, hidup di desa, tapi punya kewaskitaan dan kesaktian luar biasa. Ini senjata pamungkas kalau sewaktu-waktu dinista dan dizalimi penguasa.

Sedang Kraton Laut diperintah perempuan dengan nama bervariasi tetapi satu. Ada yang menyebut Dewi Lanjar, Nyi Ratu Kidul, Nyi Roro Kidul, atau Nyi Loro Kidul. Dalam mitos tokoh ini dekat dengan Mataram. Konon pernah bertemu dengan Panembahan Senopati di Parang Kusumo, pernah sua dengan Sunan Kalijogo di Gua Langse, dan bercinta dengan Sultan Agung sambil mengitari dunia.

Namun itu semua hanyalah simbol. Ekspresi dari keyakinan Jawa tentang sangkan-paraning dumadi. Tentang asal dan akhir manusia. Dari pertemuan lingga (kemaluan laki-laki disimbolkan gunung) dan yoni (kemaluan perempuan disimbolkan lautan) menjadi embrio, lahir, hidup, dan kelak kembali ke asal tanah (serat wirid hidayat jati). Namun simbol-simbol yang sangat filosofis itu inheren terkandung perspektif kejadian yang akan datang. Tertib dunia yang konotasinya harmoni merupakan pakem soal itu. Artinya, sebelum amuk laut dan amuk gunung ini mereda, masih akan ada amuk pamungkasnya. Itu adalah amuk di jagat manusia.

Berdasar kepercayaan itu, maka hari ini dan hari-hari yang akan datang suasana panas akan melanda negeri ini. Keributan rentan tersulut. Manusia gampang terpancing emosi. Perselisihan diselesaikan melalui adu phisik. Dan dari sisi politik, rebut kekuasaan, perang intrik dan fitnah tak terhindarkan. Ritme ini terus meninggi sampai semuanya reda kembali. Lahir kembali harmonisasi Kraton Laut, Kraton Api, dan Kraton Manusia. Namun jika Gunung Merapi bertahan dengan letusannya sekarang disusul letusan Gunung Bromo, gunung-gunung lain di luar Jawa dan diimbangi dengan tenangnya Gunung Semeru, Gunung Dieng, Gunung Slamet, dan Gunung Kelud, maka ini yang sangat bahaya bagi ketentraman negeri ini. Sebab situasinya akan chaostis yang mungkin saja disusul suksesi.

Dan sebagai penutup, sekarang kita amati pergerakan amuk gunung yang puluhan berstatus waspada itu. Kita cocokkan prediksi serat-serat kuno itu masih mempunyai relevansi atau tidak sambil introspeksi diri agar tidak terpancing emosi. Selain itu, kita juga jangan terlalu percaya dengan suratan ini. Sebab hakekatnya para pujangga yang menuliskan itu sedang mengamalkan sastra puja. Suratan metafisis untuk menambah spirit sang raja.

Mari kita lihat, pantau, dan renungkan berbagai bencana yang sedang melanda negeri ini. Tentu, sambil berdoa.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

(vit/vit)
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!