Senin, 30 September 2013

NILAI DAN TELADAN AJARAN ASTA BRATA



“ASTA BRATA”.

 
Betoro Kresno
Inti ajaran Asta Brata.

Raden Arjuna
    Ajaran Astabrata pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan. Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya. Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut dengan Asthabrata.

    Dalam lakon Wahyu Makutarama, Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk melestarikan Asta Brata dan menurunkannya kepada Arjuna. Setelah itu, Asta Brata diturunkan oleh Arjuna kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang kemudian menjadi Raja. Asta Brata adalah simbol alam semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi sejatinya menyiratkan keharmonisan sistem alam semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut merupakan manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang diciptakan Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan terhindar malapetaka. Bila manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan alam semesta, maka selaraslah kehidupannya. Delapan simbol alam itu adalah: bumi, geni, banyu, angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan. Mengambil kedelapan simbol alam sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata, sebagai pedoman tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum sebagai: “Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.”

Beberapa versi rumusan Asta Brata

1.    Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta:Asta Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi / sifat alam, yaitu:

1). Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)
     Seperti halnya bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.

     2). Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
          Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat akan merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.

     3). Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin)
     Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa  pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan).

     4). Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan)
         Seperti sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.

     5). Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari)
    Seperti sifat matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi rakyatnya.

6). Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra)
        Seperti sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.

     7). Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung)
          Seperti sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan tanah.

     8). Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api)
    Seperti sifat api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya.

2.    Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga Warsita. Pemimpin dituntut ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam. Hasta berarti delapan, brata berarti laku atau watak.

a.  Watak Surya atau srengenge (matahari); sareh sabareng karsa, rereh ririh ing pangarah.
b. Watak Candra atau rembulan (Bulan); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing   budi jatmika, prabawa sreping bawana.
     c. Watak Sudama atau lintang (Bintang); lana susila santosa, pengkuh lan kengguh andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana, setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola wali.
     d. Watak Maruta atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa tumindake punggawa kanthi cara alus.
     e. Watak Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener sajroning paring ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman.
     f. Watak Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen reresik regeding bawana, kang arungkut kababadan, kang apateng pinadhangan.
     g. Watak Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah paring pangapura, adil paramarta. Basa angenaki krama tumraping kawula.
     h. Watak pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah adedana lan karem paring bebungah marang kawula.

3.    Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut:

a. “kapisan bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.

b. Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana.

c. Katelu hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri. Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan, puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating sagung dumadi.

d. Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala antuk pidana, yen becik antuk nugraha.

e. Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta.

f. Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.

g. Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.

h. Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah.

Nilai dan Teladan Ajaran Asta Brata

a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran serupa di dunia Internasional.
    Ada banyak rumusan Asta Brata. Bahkan, pernah dijadikan pelajaran wajib di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Apakah ajaran ini bersifat Universal, dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja? Ternyata, memang benar. Ajaran Asta Brata bersifat Universal, dikenal pula di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda sebutan dan rumusannya. Berupa apa sifat ajaran Universalnya? Yaitu, bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam. Di Negeri China, Korea, dan Jepang dikenal “Fengshui” (harfiahnya Angin dan Air), yang berlandaskan teori lima proses: Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api.

Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api, Tanah, Air, Udara (Angin) dan Ruang.
Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta Brata lebih lengkap? Ternyata, tidak sesederhana itu.
Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam ajaran Asta Brata? Tanpa ruang, di manakah unsur-unsur alam itu berada? Artinya, tidak semua yang terlihat berbeda itu benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk bisa melihat, bahwa ada kesamaan di antara perbedaan.
b. Esensi Makna Asta Brata
    Asta Brata bukan hanya berlaku bagi para pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya mengamalkannya, dalam arti “hidup selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran yang diembannya, sehingga memberi manfaat bagi sesama”. Seorang pemimpin yang tidak mampu melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa mahkota. Sebaliknya, rakyat jelata yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta Brata, berarti ia adalah rakyat jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi pekertinya. “Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.” (SP091257)




Sabtu, 21 September 2013

SERAT JOKO LODANG (SINOM) Ki Ronggowarsito


SERAT JOKO LODANG (SINOM)
Ki Ronggowarsito
KADIBYAN ᾹKᾹҀA – Sabtu, 21 September 2013 – 22:37 WIB
“ Sasedyane tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang reraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudireng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira”
“Wong alim-alim pulasan
Njaba putih njero kuning
Ngulama mangsah maksiat
Madat madon minum main
Kaji-kaji ambataning
Dulban kethu putih mamprung
Wadon nir wadorina
Prabaweng salaka rukmi
Kabeh-kabeh mung marono tingalira”
  
Terjemahan Bebas:
SERAT JOKO LODANG ( SINOM )
Ki Ronggowarsito
Waktu itu semua yang dikehendaki tidak ada yang terwujud,
apa yang dicita-citakan buyar, apa yang dirancang berantakan,
segalanya salah perhitungan, ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela.
Orang-orang besar kehilangan kebesarannya,
lebih baik tercemar nama daripada mati, 
sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya. 

Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka.
Diluar tampak baik tetapi didalamnya tidak.
Banyak ulama berbuat maksiat.
Mengerjakan madat, madon minum dan berjudi.
Para haji melemparkan ikat kepala hajinya.
Orang wanita kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta benda.
Semua saja waktu itu hanya harta bendalah yang menjadi tujuan. 
(SP091257)

BLOG: "INILAH KARYAKU": SERAT JOKO LODANG (SINOM) Ki Ronggowarsito: SERAT JOKO LODANG (SINOM) Ki Ronggowarsito KADIBYAN ᾹKᾹҀA – Sabtu, 21 September 2013 – 22:37 WIB “ Sasedyane tanpa dadya S...