Rabu, 02 Oktober 2013

[Resensi]: Jejak makrifat Syekh Siti Jenar

Nick Watt
Legendaris, kontroversial, sekaligus misterius. Itulah Syekh Siti Jenar. Kisah hidup dan kematiannya memiliki banyak versi.
Buku Jejak Makrifat Syeh Siti Jenar

Judul Buku      : Misteri Makrifat Syekh Siti Jenar
Penulis             : Agus Wahyudi
Penerbit           : Diva Press
Tahun              : 1, 2013
Tebal               : 174 halaman
Harga              : Rp38.000,-

Rabu, 25 September 2013 09:00:00 WIB: Legendaris, kontroversial, sekaligus misterius. Itulah Syekh Siti Jenar. Kisah hidup dan kematiannya memiliki banyak versi. Meski terus coba ditumpas, ajarannya tetap diperbincangkan dan digali. Hingga kini dia dianggap sebagai salah satu penyebar agama Islam di Jawa. Tapi, ajarannya berbeda dengan ajaran Wali Songa Namun, benarkah Syekh Siti Jenar seorang Wali yang murtad seperti penilaian Wali Songa? Ataukah justru Wali Songo yang keliru menafsirkan ajarannya? Apakah konflik antara kubu Wali Songa dan Syekh Siti merupakan persoalan ajaran agama atau perseteruan politik?

Buku ini membahas dua inti ajaran Syekh Siti Jenar: manunggaling hawula-Gusti dan memayu hayuning bawana dengan menguraikan pengertian Tuhan, manusia, alam semesta, kehidupan, dan kematian, melalui perbandingan dengan ajaran agama lain. Secara padat dan memikat, juga dibahas cara menemukan jati diri, meraih keseimbangan dan keselarasan, menguasai seni hidup, mengabdi dan melayani kehidupan, dan mencapai persaudaraan universal. Hidup sejati akan diraih apabila seseorang telah makrifat (mengenal) Tuhannya. Bermakrifat kepada Tuhan mustahil dicapai jika belum bermakrifat (mengenal) diri sendiri.

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit. Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syekh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syekh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka. Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad. Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun.

Buku ini mengupas tentang intisari ajaran makrifat, sebagai ajaran sinkretisme para leluhur yang sarat akan nilai-nilai kebatinan. Awalnya, wejangan-wejangan tersebut tercerai berai dan saling terpisah, sebelum akhirnya dikumpulkan menjadi satu oleh Kanjeng Sultan Agung Hanyakra Kusuma, Raja Agung Mataram. Para Wali tanah Jawa melarang penyebar luasan ajaran ini. Namun oleh Syekh Siti Jenar, kebijakan tersebut ditentang habis-habisan. Maka para Wali pun memperbolehkan untuk diajarkan, namun hanya kepada orang-orang tertentu saja. Hingga akhirnya, seorang pakar sufi kejawen bernama Raden Ngabehi Ranggawarsito menulis ulang dalam bentuk buku hingga bisa dibaca siapa saja yang berminta mendalaminya.
Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin Wali Songo yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat. Tak pelak, Azyumardi Azra berpendapat pemakzulan sejarah ini adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera.

Muhammad Bagus Irawan, pustakawan asal Jepara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar