Rabu, 25 Desember 2013

Kisah Syeh Siti Jenar Debat Agama dengan Ki Kebo Kenongo by Slamet Priyadi


Denmas Priyadi

Kadibyan Akaca Blog - Rabu, 25 Des. 2013 -Kisah ini berawal ketika Ki Kebokenongo yang dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Pengging berniat memberontak terhadap penguasa Demak, Sultan Bintoro. Berita tentang  pemberontakan yang akan dilakukan Ki Kebokenongo itu sampai juga ke telinga Syeh Siti Jenar.  Maka Syeh Siti Jenar pun berangkat ke Pengging  menemui Ki Kebokenongo.  Hal tersebut dilakukan Syeh Siti Jenar oleh karena Ki Kebokenongo mempunyai niat dan tujuan yang sama dengan dirinya, berniat memberontak terhadap Demak. Selain itu ia memiliki kepercayaan dan pandangan agama yang sejalan dengan dirinya.  Setiba di desa Pengging Syeh Siti Jenar langsung menjumpai Ki Kebokenongo di rumahnya.  Setelah mengucap salam, berkatalah Syeh Siti Jenar kepada  Ki Kebokenongo:

     “Ki Ageng Kebokenongo, aku mendengar kabar Ki Ageng berselisih kekuasaan dengan Sultan Bintoro dan hendak memberontak terhadap Demak, benarkah itu?”

Mendengar pertanyaan yang tak diduga-duga dan bersifat pribadi dari Syeh Siti Jenar, orang yang belum dikenalnya secara dekat dan mendalam, Ki Kebokenongo sedikit terperanjat. Dengan senyum dikulums ia berkata kepada Syeh Siti Jenar:

     “Wahai kisanak, siapakah tuan ini, dan dari manakah?”  

Mendengar jawaban Ki Kebokenongo seperti itu Syeh Siti Jenar menjadi heran, sebab meskipun tidak sering bertemu Ki Kebokenongo, tetapi ia pernah beberapa kali berbincang-bincang bertukar pikiran soal kepercayaan, agama dan masalah keadaan situasi politik di Demak yang dirasakan semakin  tidak kondusif lagi.  Dengan perasaan sedikit kecewa yang dipendam, Syeh Siti Jenar berkata kepada Ki Kebokenongo dengan penuh rasa keakraban penuh persahabatan:

     “Walah, walah,walaaah...Ki Ageng ini piye, tho? (KI Ageng ini bagaimana?) Apa sudah lupa dengan aku, Syeh Siti Jenar seorang hamba sahaya yang mendapat derajat tinggi secara tiba-tiba, dan orang menyebut aku seorang wali. Berbeda dengan Ki Ageng yang masih keturunan raja, kaum bangsawan yang memerintah pulau Jawa ini.  Tetapi sekarang hidup susah, tinggal di desa menjadi petani, bercocok tanam dan menanam padi dan palawija karena perlakuan Sultan Bintoro, raja Demak yang tamak itu”.

     “Oya, ya, ya... Aku baru ingat sekarang, maafkan aku Syeh Siti Jenar, sungguh aku tak menduga dan tak mengenalimu sebab penampilanmu jauh berbeda.  Jenggot, kumis, rambutmu agak panjang sekarang, dan pakaianmu pun semakin hitam gelap segelap dan hitamnya kehidupan sekarang . Namamu pun  semakin terkenal di kalangan masyarakat maupun di kalangan pemerintahan bahkan di seantero Jawa ini, dan banyak pula yang menyebutmu dengan sebutan Syeh Lemah Abang.  Mari, jangan sungkan-sungkan,  Syeh!  Anggap saja ini seperti di padepokanmu. Oya, Sekarang apa lagi yang akan kau bicarakan sebab aku pun ingin tahu maksud dan tujuanmu datang kemari yang jauh dari keramaian kota hanya desa terpencil, Pengging yang sekarang sebagai tempat aku tinggal mengelola sebidang tanah dan sawah, tempat mesu diri memikirkan kehidupan yang  semakin aku tak mengerti, penuh kemunafikan, keserakahan, ketamakan, intrik-intrik, dan ambisi pribadi untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan seperti yang terjadi di Demak Bintoro ini sebagaimana yang tadi Syeh Siti Jenar katakan.”

     “Baiklah Ki Ageng, sebenarnya aku sudah lama ingin berkunjung ke sini untuk menemuimu membicarakan tentang keadaan negeri, bertukar pendapat, pikiran dan pandangan terkait dengan kehidupan keagamaan dan kepercayaan yang kita sebarkan kepada santri-santri kita dan masyarakat kita di Demak Bintoro ini yang semakin terasa tidak nyaman karena ajaran-ajaran kita dianggap nyeleneh dan sesat ke luar dari ajaran Islam. Dan sungguh aku sangat mendukungmu dan akan membantu sekuat jiwa raga dan pikiran jika rencana untuk memberontak terhadap Demak itu jadi kau laksanakan.” Demikian  Syeh Siti Jenar menyampaikan pikiran, pendapat, dan pandangan  serta dukungan penuhnya terhadap Ki Kebokenongo, sambil tak lupa mengelus kumis dan jenggotnya yang hitam agak keputihan itu.

     “Baiklah, Syeh Siti Jenar! Aku sangat berterima kasih sekali dengan dukunganmu. Akan tetapi sebaiknya fokus pembicaraan kita belum mengarah ke sana, ke rencana pemberontakan itu,  karena semuanya itu tentu memerluan persiapan yang matang baik secara fisik, mau pun non fisik, dan yang utamanya lagi adalah persiapan materi logistiknya karena masyarakat kita, santri-santri kita masih belum siap untuk melakukan pekerjaan besar seperti itu.  Marilah kita membahas yang berkait dengan keagamaan kita karena terus terang aku butuh ketenangan jiwa, dan  itu kutemukan saat aku mesu diri  mendalami, mengkaji, merenung diri apa arti sejatinya sebuah kehidupan.” Demikian kata-kata Ki Kebokenongo menanggapi pendapat Syeh Siti Jenar.

     “Jika demikian adanya, aku sangat sependapat denganmu, Ki Kebokenongo. Aku sangat bersyukur jika pendapat dan pemikiran kita masih bisa dipersatukan, dan mari kita bersatu tekad untuk tetap memegang teguh ajaran kita masing-masing meskipun taruhannya  tubuh kita akan hancur lebur akan tetapi ajaran-ajaran kita akan terus tetap berkembang sampai di hari kemudian menuju alam kelanggengan. Sekarang, marilah kita segera menyembelih ayam berbulu putih seluruhnya dengan nasi putih yang dicampur garam sedikit sebagai alasnya.”

Selanjutnya Ki Kebokenongo yang dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Pengging menyuruh kepada istrinya untuk menyembelih seekor ayam  berbulu putih dan mempersiapkan nasi putih untuk acara selamatan pada malam harinya. Menjelang senja saat petang hari, masakan disajikan ditutupi dengan kain yang juga berwarna putih. Syeh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging duduk di serambi sanggar berbincang membahas tentang agama Hindu, Budha, dan Islam.

Sambil  menanti malam tiba, Ki Ageng Pengging mengawali diskusi dengan membahas tentang ajaran agama Hindu-Budha, sedangkan Syeh Siti Jenar mengulas agama Islam yang disampaikan dengan cara  yang menarik sekali. Kalimat-kalimat yang disampaikan jelas dan tersetruktur sehingga mudah ditangkap dan dicerna. Ki Ageng Pengging mendengarkan  secara serius dan penuh perhatian.  Menikmati kata demi kata, kalimat demi kalimat yang disampaikan Syeh Siti Jenar. Dan  Pada akhirnya mereka berdua berkesimpulan bahwa meskipun agama yang mereka anut berdua masing-masing berbeda, akan tetapi hakikatnya adalah sama bahwa agama itu mengajarkan tentang kebenaran, menuntun manusia, bagaimana manusia harus bersikap kepada Tuhan, kepada manusia, dan kepada alam.

Mereka berdua, Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar  sangat menikmati debat dan diskusi agama itu, sehingga tak terasa malam pun  mulai merayapi desa Pengging. Cuaca dingin merasuk mengelitik tubuh, kabut tipis menggumul  depan serambi rumah Ki Ageng Pengging menambah cuaca malam itu semakin dingin. Tak lama kemudian mereka berdua  masuk ke dalam sanggar lalu masing –masing mengambil kain putih yang dipakai sebagai penutup hidangan. Syeh Siti Jenar duduk menghadap ke utara, sedangkan Ki Ageng Pengging menghadap ke selatan, mereka saling berhadap-hadapan.  Mereka berdua akan saling bertanya dan menjawab  secara makrifat, berargumentasi dengan saling debat menurut pemikiran dan kebenaran mereka masing-masing.  

Bertanyalah Syeh Siti Jenar kepada Ki Ageng Pengging:

     “Ki Ageng Pengging, sesungguhnya dimanakah Yang Maha Kuasa itu?”

Ki Ageng Pengging diam saja tak menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar. Sejenak kemudian ia berkata menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar dengan sebuah  pertanyaan pula:

     “Syeh Siti Jenar, menurutku jawaban pertanyanmu ada dalam pertanyaanku ini, ‘dimanakah pintu kematian itu?’ bisakah Syeh  menjawabnya?!

Menerima pertanyaan Ki Ageng Pengging, Syeh Siti Jenar diam tak bisa menjawabnya. Lalu mereka berdua pun saling merenung memikirkan kedua pertanyaan yang Saling mereka ajukan. Tak beberapa lama kemudian Ki Ageng Pengging berkata kepada Syeh Siti Jenar:    

     “Syeh Siti Jenar, besok aku akan menemukan kolong dunia.”

Menjawab Syeh Siti Jenar dengan cepat:
 
     “Itu salah besar Ki Ageng!”

Ki Ageng Pengging berkata:

     “Apakah saya akan masuk dan harus masuk ke alam kesunyian, seperti saat saya belum    dilahirkan?”

Jawab Syeh Siti Jenar:

     “Itu pun juga tidak benar, Ki Ageng!”

Ki Ageng Pengging melanjutkan kata-katanya:

    “Apakah saya akan sejiwa denganyang gaib, ‘Yang mandiri secara pribadi, menyatukan diri dengan keinginan, berubah menjadi air mani agar dapat melakukan penitisan, seribu hari makan irisan tipis-tipis sedangkan sedekahnya adalah mayat saya.”

Syeh Siti Jenar tetap menyangkal semua pendapat Ki Ageng Pengging yang dianggapnya salah dan tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang kuat dan masuk akal.  Akhirnya Ki Ageng Pengging merasa bahwa tingkat ilmu kemakrifatannya masih di bawah Syeh Siti Jenar dan dia memohon kepada Syeh Siti Jenar untuk menjadi muridnya memberikan nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan tentang  siapa, dan dimana Yang Maha Kuasa itu? Syeh Siti Jenar kemudian menjelaskan tentang, ‘Uning, Unong, Unang.’

Ki Ageng Pengging menyimak semua dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian apa yang diuraikan Syeh Siti Jenar akan tetapi ia masih belum menerima sepenuhnya ajaran Syeh Siti Jenar. Saat ia masih merenung memikirkan ajaran Syeh Siti Jenar, ia terkejut karena Syeh Siti Jenarbertanya kepadanya tentang dimana pintu kematian itu. Menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging menunjukkan telunjuknya ke arah bagian leher. Syeh Siti Jenar dapat memahami dan mengerti maksudnya. Selanjutnya, Syeh Siti Jenar menyantap daging ayam yang disajikan, memegang isi perut ayam seraya  berkata:

     “Apakah in sarang angin?”

Ki Ageng Pengging mengibas-ngibaskan kedua tangannya, memadamkan lampu dalam sanggar.  Mereka berdua tertawa bersama-sama karena menyadari bahwa sesungguhnya mereka masih diliputi oleh kegelapan tentang uning, unong yang menggambarkan kematian itu.
Tiga hari tiga malam sudah Syeh Siti Jenar berada di sanggar Ki Ageng Pengging membahas agama Hindu, Budha, dan Islam Ki Kebo Kenongo alias Ki Ageng Pengging itu. Pada akhirnya mereka menemukan kesepakatan, bahwa di antara kepercayaan mereka berdua tidak ada bedanya. Syeh Siti Jenar pun mohon diri utuk kembali  ke desanya, Krendhasawa. (SP091257)

Referensi:
YB. Prabaswara, Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen, Jakarta, Armedia  

Penulis:
Slamet Priyadi di bumi Pangarakan – Bogor
Rabu, 25 Desember 2013 – 15:10 WIB
 

Selasa, 24 Desember 2013

Cerita Mahfud MD soal kelebihan Gus Dur



Reporter : Parwito | Selasa, 17 Desember 2013 04:14
Mahfud MD Capres PKB. ©2013 merdeka.com/parwito  
Merdeka.com - Kisah tentang Gus Dur kali ini dituturkan Mahfud MD , mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ( MK ). Sebagai orang dekat Gus Dur , Mahfud tentu memiliki kenangan-kenangan kisah yang masih menancap, misalnya dalam bentuk humor atau dalam bentuk karomah.

Ditemui merdeka.com dalam acara deklarasi
Mahfud MD sebagai Capres 2014 di Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (Ponpes API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, politisi asal Madura itu antusias bercerita soal Gus Dur . Misalnya kisah ketika dia diangkat menjadi Menteri Pertahanan.

"Saya cerita pada suatu hari Presiden Abdurrahman Wahid memanggil saya dan mengatakan, 'Pak Mahfud saya perlu tiga ahli tata negara. Saya sudah punya dua tapi kurang satu'. Pertama ahli yang dimiliki Yusril. 'Yusril akan saya angkat kembali jadi Menkumham. Yang kedua Marsilam Simanjuntak akan saya angkat menteri sekretaris kabinet. Lalu yang ketiga antum'," kata
Gus Dur .

Mahfud pun merasa tidak percaya dengan apa yang dilakukan
Gus Dur tersebut. Bahkan dia langsung menawar beberapa kali supaya tidak dijadikan menteri pertahanan. Namun beberapa kali penolakan tidak digubris sama sekali oleh Gus Dur .

"Saya tidak percaya. Saya kira saat itu menteri pertanahan. Ternyata bukan menteri pertanahan, tapi menteri pertahanan. Saya lalu bilang, tidak pernah belajar ketahanan.
Gus Dur menjawab, 'saya saja tidak belajar jadi presiden, bisa jadi presiden, politik itu sifatnya umum'," kata Mahfud menirukan Gus Dur .

Mahfud lalu menawar, bagaimana kalau menteri kehakiman?
Gus Dur mengatakan tidak bisa karena Yusril senang berada di situ. Bagaimana kalau menteri sekretaris kabinet? Tidak bisa, karena Marsilam orangnya teliti. Saya perlukan tenaganya urus surat biar tidak salah.

"Saya tawar, bapak presiden, saya urus Deputi Kemenkumham gantikan Pak Hasbalah M Sa'ad? Tidak bisa besok saya bubarkan," tutur Mahfud.

Mahfud kemudian keluar dan langsung diberi masukan oleh salah seorang temannya supaya tidak menolak permintaan
Gus Dur menjadi menteri pertahanan. Namun, Mahfud menganggap penunjukan Gus Dur itu lucu dan aneh.

"Saya keluar, salah satu rekan saya bilang, antum (kamu) jangan tawar terus kalau tidak mau tidak jadi menteri. Siap saya terima dan laksanakan. Itu pengangkatan lucu dan aneh. Ketika jabatan itu saya terima besok jam 8 malam rencana akan diumumkan. Lalu saya disuruh berikan kartu nama. Tidak punya kartu nama, akhirnya saya tulis di kertas. Saya tidak bawa kartu nama," ucapnya.

Begitu pulang ke rumah, Mahfud langsung mengatakan ke keluarganya bahwa dirinya ditunjuk sebagai menteri. Namun, istrinya tidak percaya dengan pengumuman yang disiarkan televisi dan dipercepat pengumumannya.

"Saya bilang sama anak-anak dan keluarga kumpul. Tapi tiba-tiba pengumuman menteri dimajukan. Diumumkan jam empat sore. Anak-anak saya pada main. Ketika diumumkan hanya ada istri, istri saya tidak percaya. 'Bukan! Masak kamu jadi menteri'. Kemudian saya yakinkan, terus telepon berdering di tengah malam," ungkapnya.

Bahkan, penunjukan Mahfud sebagai Menhan oleh
Gus Dur saat itu mendapatkan banyak protes dari berbagai kalangan. Di antaranya, tokoh reformasi saat itu Amien Rais bahkan Wakil Presiden Megawati juga memprotes rencana Gus Dur itu.

"Yang mengagetkan banyak komentar sinis.
Amien Rais marah. Amien ngomong, 'itu salah itu, Gus Dur pilih teman jadi menteri'. Di mana-mana Menhan orangnya harus kelas dunia. Affan Gaffar bilang, Mahfud jadi Menhan dia gali kuburnya sendiri. Megawati di berita gak setuju. Gus Dur bilang kemana Wapres gak ada? Biasa kalau perempuan mandi ya pulang mandi. Menkeu Priyadi dan Mahfud MD yang diejek dua hari. Gus Dur disalah-salahkan," ujar Mahfud mengenang.

Mahfud kemudian mengundang rekan-rekan Ikatan Cendekiawan Muslim dari Madura yang diketuai oleh doktor Malik Mardani yang kini menjadi Khatib Am Suriyah NU didampingi KH Sahal Mahfud untuk menyampaikan niatnya mundur.

"Selain itu, rekan dosen IAIN dan UIN juga saya undang. Saya bilang, Mas Malik saya buat kesalahan terlanjur jadi menteri bukan bidang saya. Meski saya sudah bersedia tetapi kasihan
Gus Dur kalau diejek seperti ini. Saya ndak minta. Maksud saya kenal Gus Dur tapi tidak pernah dekat tiba-tiba dipanggil jadi menteri. Saya mau mundur saja."

Tidak didukung niatnya untuk mundur, malah diminta untuk tetap mempertahankan amanat yang diberikan
Gus Dur . Malahan, di tengah pertemuan itu, Mahfud langsung ditelepon oleh Gus Dur untuk tidak mundur dari jabatan Menhan.

"Malik beri nasehat, 'kalau tidak minta jabatan menterinya sampean jangan mundur. Jangan kamu minta jabatan, karena kamu akan sendiri dan dibiarkan oleh Allah. Tapi kalau kamu tidak minta (jabatan), maka Allah akan membantumu. Tiba-tiba handphone berdering sedang ada tamu, halo Pak Mahfud ini ajudan presiden mohon bicara, presiden bicara. Saya lagi di Gresik, Pak Mahfud, sedang meresmikan Semen Gresik, Pak Mahfud jangan mundur," selorohnya.

Momentum itu bagi Mahfud terasa aneh dan ajaib karena seolah-olah
Gus Dur mengetahui pertemuan itu tanpa di beritahu oleh siapapun. Dia tidak tahu, apakah itu sesuatu yang kebetulan atau tidak. Tapi dia menilai, sepertinya Gus Dur dari kejauhan tahu.

"Anda bekerja saja, sebulan ke depan nanti jadi orang hebat. Dari situ kemudian saya belajar sehingga saya simpulkan cerita tentang
Gus Dur apa yang saya bawa dari amanat Gus Dur adalah ikon NU terkemuka. Amanat seperti ditulis dalam spanduk depan amanat yang dibawa, pikirannya Gus Dur adalah ahlussunnah wal jamaah," pungkas Mahfud.

Sabtu, 21 Desember 2013

Cerita Gus Dur dan gelang kenur 'sakti'



Reporter : Mohamad Taufik | Sabtu, 7 Desember 2013 06:00


Gus Dur-Hugo Chavez. ©Reuters
Merdeka.com - Banyak kisah kesaktian atau karomah melekat pada sosok Gus Dur. Kisah-kisah itu dituturkan orang-orang dekat mantan presiden keempat itu. Namun demikian, ada juga yang menganggap Gus Dur sebenarnya hanya manusia biasa. Kesaktian-kesaktian itu sebenarnya bisa dinalar dengan akal sehat.

"Menurut saya, Gus Dur biasa saja sih. Wong ya bisa sakit juga," kata Wakil Bendahara Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Bambang Susanto, orang yang sering menemani Gus Dur pergi tiga tahun terakhir sebelum meninggal.

Misalnya kabar soal kesaktian Gus Dur yang selalu tertidur dalam rapat atau acara-acara diskusi, tapi ketika bangun masih nyambung dengan topik bahasan. Ketika Bambang bertanya, benar pak seperti itu? Gus Dur menjawab, gampang saja. "Ambil saja ujung bahasan terakhir, paling-paling ga jauh dari situ."

Lalu bagaimana soal kesaktian lain, misalnya benda pusaka, jimat atau semacamnya? Bambang menjelaskan, soal jimat atau semacamnya itu karena banyak orang yang memberi. Sementara Gus Dur bukanlah orang yang tega menolak pemberian orang. Apalagi si pemberi datang dari tempat jauh hanya untuk menemui Gus Dur.

"Jadi alasannya itu karena Gus Dur paling tidak bisa menolak pemberian orang. Beliau bukan mencari-cari (jimat atau pusaka), tapi karena diberi oleh orang-orang," terangnya kepada merdeka.com, Rabu (4/11).

Misalnya, gelang kenur (gelang tangan terbuat dari tali kenur) yang selalu dipakai di pergelangan tangan kanan Gus Dur. Pernah suatu waktu Gus Dur berkata, gelang itu tidak akan dilepas. Dia akan menjaga gelang agar tidak terputus. Alasannya, kalau putus negara ini akan tertimpa malapetaka.

Gus Dur belakangan menjelaskan, sebenarnya alasan merawat gelang itu bukan karena percaya pada kesaktian (musyrik). Namun, kata Bambang, lebih pada menghargai si pemberi yang datang dari tempat jauh hanya sekadar ingin memberi hadiah gelang kepada Gus Dur.

"Kata Gus Dur, kasihan orang yang memberi, jauh-jauh datang cuma pengen memberi gelang. Kalau dia (pemberi) tahu gelang putus, tidak dipakai, bisa lebih bahaya lagi, dia bisa teriak-teriak di luar (Indonesia dalam bahaya karena gelang Gus Dur putus)," ujar Bambang sambil tertawa.

Hal senada dituturkan salah satu santri Gus Dur, Nuruddin Hidayat. Menurut dia, Gus Dur bukan lagi mengurusi masalah kesaktian atau pusaka-pusaka seperti itu. Memang, selama Gus Dur masih hidup, banyak orang-orang bergantian datang ke kediaman untuk memberi pusaka-pusaka tersebut.

"Sama Gus Dur diterima saja. Ada yang memberi gratis, ada yang menjual, ada juga yang meminta mahar. Gus Dur melihat orang yang meminta uang itu pasti orang butuh. Kalau (pusaka) setelah diterima ya ditaruh di gudang ga diapa-apain, entah masih ada pamornya apa tidak," ujarnya.

Itulah sisi lain dari Gus Dur, selain dikenal sebagai politikus, kiai, pengamat, dan budayawan, juga dikenal lewat humor dan kerap dihubung-hubungkan dengan mistis serta kesaktian.