Selasa, 01 Oktober 2013

Geger Ngoyak Macan Djoko Suud Sukahar - detikNews


Budayawan Djoko Suud

 Jakarta - Calon presiden saling berburu. Memburu orang yang digandrungi. Elektabilitas yang terus meninggi, maka Jokowi buruan itu. Digadang-gadang untuk disanding. Inilah geger ngoyak macan, yang seakan macan (kekuasaan) itu sudah berada dalam diri Jokowi. Tetapi mengapa etika dan rasionalisasi jadi ditanggalkan?

Sudah tiga calon yang memastikan diri siap bertarung memperebutkan posisi RI-1. Aburizal Bakrie dari Partai Golkar, Prabowo Subianto dari Gerindra, dan Wiranto dari Partai Hanura. Ada sekian lagi yang berhasrat, termasuk Hatta Rajasa dari PAN, dan Partai Demokrat yang akan melakukan konvensi. Hanya, selain ada yang belum punya kendaraan, juga masih ada yang belum tegas incaran posisi yang diinginkan. Capres atau cawapres.

Lembaga survei yang semuanya mengunggulkan Jokowi, menempatkan tokoh sumanak ini dalam incaran berbagai pihak. Yang tak kenal tiba-tiba merasa kenal, yang sudah kenal merasa akrab dan sangat akrab dengan mantan Wali Kota Solo itu. Kendati semua partai masih belum jelas memenuhi syarat atau tidak untuk mengusung jago.

Calon-calon pemimpin negeri ini sepertinya ngeper dengan popularitas Jokowi. Mereka merasa kalah sebelum berlaga. Tidak malu-malu mendekat, siapa tahu Jokowi terpikat. Dengan berbagai gaya para capres itu mengesankan berakrab-akrab ria. Dan malah ada yang melontarkan isu acap bertemu dan melakukan pertemuan dengan Jokowi yang kemudian dibantah.

Tingginya elektabilitas Jokowi memang layak untuk diperhitungkan para capres. Jika mungkin adalah menggandengnya. Namun jika tidak, maka Jokowi adalah lawan pertama yang harus ditaklukkan. Itu agar tidak menjadi batu sandungan saat pilpres mendatang, kalau Jokowi ikut nyapres.

Bagi partai lain selain PDIP, menggandeng Jokowi adalah muskil. Selain Jokowi kader partai banteng moncong putih itu dan loyal, inang (PDIP) Megawati Soekarnoputri juga dikenal sebagai tokoh teguh pendirian yang tidak gampang kompromi. Untuk itu berbagai isu yang muncul soal Jokowi akhir-akhir ini adalah misi memecah soliditas macan dari kandangnya. Menebar virus supaya Jokowi dan PDIP tidak mesra lagi.

Sampai hari ini Jokowi dan PDIP masih mampu bertahan dari berbagai gempuran itu. Dari blusukan yang dikritisi, dari 'adu-domba' melalui plintiran-plintiran kejadian yang tidak nyata, sampai ajakan Jokowi didampingkan dengan capres berbagai partai lain. Jika sikap 'istiqomah' ini terus berlanjut dan PDIP tidak salah langkah dalam pencapresan, maka pemilu tahun mendatang adalah milik partai ini. PDIP menang mutlak dan punya presiden.
Namun geger ngoyak macan tidaklah teduh dan tenang. Geger itu malah bisa sampai kepati-pati. Riuh pasti. Berseliweran intrik dan tekanan-tekanan, menciptakan suasana nglangut, tenang yang tegang, yang dalam pewayangan dibutuhkan pencairan suasana dengan perang kembang. Perang yang sudah diketahui siapa yang kalah dan siapa yang bakal menang.

Jokowi dan PDIP harus melakukan itu. Menjaga keharmonisan dan menciptakan kemesraan. Kalau ingin membangun dinamisme, maka perang kembang itu perlu dirancang. Perang-perangan, geger tidak sungguhan, kendati harus dihitung efek terhadap grass-root yang tidak paham rekayasa atau skenario dari sebuah 'permainan'.

Geger ngoyak macan memang akhirnya keluar dari etika dan rasionalisasi. Kesantunan hilang, akal sehat ditanggalkan. Lihat Partai Demokrat yang ribut menggelar konvensi yang tidak jelas capresnya mau dikemanakan jika terjaring nanti. Banyak pihak yang berharap diundang mengesankan, bahwa partai ini dianggap masih seperti dulu, menang dan punya suara yang cukup untuk mengusung calon. Padahal itu masalalu. Atau simak PKB yang berubah menjadi buku komik, Partai Satria Bergitar.

Sebagai penonton, saya suka dengan cucuran airmata melihat dinamisasi politik akhir-akhir ini. Itu karena lucu sekaligus pilu. Betapa bibit (sang calon) track-recordnya mayoritas kelabu (kalau tidak boleh disebut hitam), dan disemaikan (partai) di ladang yang gersang (bebet). Maka kalaulah tidak tepat jago yang terpilih, maka entah seperti apa bobot negeri ini di persaingan global.

Menjelang pemilu, terlalu banyak yang geger ngoyak (berebut) macan (kuasa). Yang berambisi itu tidak melihat layak tidaknya menampilkan diri sebagai kandidat. Kepentingan pribadi dominan, dan terbayang seperti apa kelak jika memerintah. Mereka tidak bercermin untuk melihat 'jithok e dewe'. Tidak membaca dirinya melalui penilaian orang lain.

Mumpung bulan puasa, mari kita berdoa agar Gusti Allah memilihkan pemimpin yang patut untuk negeri agraris yang dibanjiri produk impor ini. Itu agar kemandirian tidak hanya berbusa di mulut para pemimpin, tetapi dirasakan rakyat.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

1 komentar:

  1. MBAH SUUD SAYA TERTARIK DENGAN ARTIKEL ANDA TENGTANG SATRIO PININGIT BOLEH ANDA KASIH SAYA KETRENGAN YG LEBIH TERPERICI

    BalasHapus