simbol kehidupan |
SANGKAN PARANING DUMADI
Oleh:
Slamet Priyadi
Dari kehampaan kegaiban alam kelanggengan
Sangkaning dumadi awal kisah kamanungsan
Lahirkan aku pancer jiwa sukma jelma manusia
Lewat gelora supiah pejantan dan perempuan
Lewat
anasir alam air, api, tanah, dan udara
Lalu langlang kembara ke alam marcapada
Bersamaku kakang kawah, daging dan darah
Bersamaku adi ari-ari yang menjadi marwah
Segala daya kekuatan rohaniah dan
jasmaniah
Nafsu aluamah, amarah, supiah, mutmainah
Dan, mulhimah yang menjadi pemberi arah
Dalam diriku ada sifat dan watak dasamuka
Tamak, rakus, serakah penuh angkara murka
Berangasan, merasa paling kuat sakti dan
digjaya
Dalam diriku ada sifat dan watak
Kumbakarna
Tak mau mendengar merasa paling benar
Penuh nafsu amarah, tak mau mengalah
Dalam diriku pun ada sifat dan watak
Sarpakenaka
Utamakan nafsu birahi libido tak
terkendali
Seperti Begawan Wisrawa kepincut Dewi
Sukesi
Dalam diriku juga ada sifat dan watak
Wibisana
Penuh kejujuran, kebenaran, dan kesucian
Tolak kejahatan, keburukan, dan ajak
kebaikan
Sekali waktu sukmaku, jiwaku adalah milik
aku
Sekali waktu sukmamu, jiwamu adalah milikmu
Sekali waktu sukma kita, jiwa kita adalah
milik kita
Dan, pada saatnya kelak,
Sukmaku, sukmamu, sukma kita semua
Jiwamu, jiwaku, dan jiwa kita semua
Akan menuju ke sana, kembali
keharibaan-Nya
T u h a n . . . . .
Bumi
Pangarakan, Bogor
Jumat,
30 Mei 2014 – 17:22 wib
KETIKA LAMPU ITU PADAM
Karya Sita Rosita
Saat lampu
listrik itu padam di perut malam
Cuaca
gelap gulita terasa semakin mencekam
Sang
Dewi malam nampak berwajah pias dan muram
Bercadarkan
selimut tebal bertabir awan hitam
Tak
ada lagi cahaya kuning diperaduan alam
Semuanya
menjadi semakin hitam kelam
Gemericik
riak air sungai yang mengalir geram
Sentuh
bebatuan terpercik rona merona wajah
Serasa
menyengat kuat aroma bau anyir darah
Sementara
kelelawar hitam keluar dari sarang
Terbang
melayang-layang liar dan garang
Laron-laron
kecil seperti mabuk kepayang
Sebab
tiada lagi sinar lampu tempat bertandang
Suara
serangga orong-orong di pohon rindang
Bunyi
kodok bangkong, dan srigala terus melolong
Adalah
tembang nyanyian kloro-loro bolo katong
yang
tak pernah sepi dan kosong selalu merongrong
Bumi
Pangaraka, Bogor
Sabtu,
08 Juni 2014 – 2:50 wib
SEBELUM KITA ADA
Karya: Slamet Priyadi
Karya: Slamet Priyadi
Bukan kehendak, bukan angan-angan
bukan niat, bukan ingatan, bukan pula pikiran
hawa nafsu pun juga bukan
bukan niat, bukan ingatan, bukan pula pikiran
hawa nafsu pun juga bukan
jadi semuannya....
bukanlah kosong hampa
karena di sana di luar bumi
dan di luar langit akaca,
ada Dia Sang Maha Penentu, Maha pencipta
bukanlah kosong hampa
karena di sana di luar bumi
dan di luar langit akaca,
ada Dia Sang Maha Penentu, Maha pencipta
Penampilan kita adalah mati kaku
sebab semuanya seperti tidak tahu
seandainya menjadi gusti kita mampu
jasad kita pun busuk jadi bangkai berbau
dan nafas kita terhembus di segala penjuru
menjadi udara, tanah, air, dan api
akan ke asalnya lagi menjadi baru kembali
sebab semuanya seperti tidak tahu
seandainya menjadi gusti kita mampu
jasad kita pun busuk jadi bangkai berbau
dan nafas kita terhembus di segala penjuru
menjadi udara, tanah, air, dan api
akan ke asalnya lagi menjadi baru kembali
Bumi, langit, dan semua isinya
adalah milik Dia dan juga milik kita manusia
kitalah yang memberinya nama
tahu atau tidak tahu
ada atau tidak ada
adalah milik Dia dan juga milik kita manusia
kitalah yang memberinya nama
tahu atau tidak tahu
ada atau tidak ada
jika kita merasa tahu maka semua tahu
jika kita merasa ada maka semua itu ada
buktinya sebelum kita ada semuanya tidak ada
sesudah kita ada maka semuanya ada
semuanya kitalah yang memberinya nama
ada atau tidak ada itu hanya dalam pikiran kita
jika kita merasa ada maka semua itu ada
buktinya sebelum kita ada semuanya tidak ada
sesudah kita ada maka semuanya ada
semuanya kitalah yang memberinya nama
ada atau tidak ada itu hanya dalam pikiran kita
Jika kita pikirkan Tuhan
maka akal, rasa dan pikiran kita
tak akan mampu menjangkaunya
sebab Tuhan ada di luar kita
sebab Tuhan adalah pencipta kita
maka akal, rasa dan pikiran kita
tak akan mampu menjangkaunya
sebab Tuhan ada di luar kita
sebab Tuhan adalah pencipta kita
hanya Dia yang ada di alam sana,
di alam kelanggengan luar alam marcapada
Tuhan, Tuhan, Tuhan...
Sang Pencipta Maha Segala
di alam kelanggengan luar alam marcapada
Tuhan, Tuhan, Tuhan...
Sang Pencipta Maha Segala
Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 29 Desember 2013 16:27 WIB
Minggu, 29 Desember 2013 16:27 WIB
“KEMAHABESARANNYA”
Karya Slamet Priyadi 42
Roda-roda motor ojek itu terus saja
berputar
Berkelak-kelok hindari jalan berlubang
besar
Di sepanjang jalan sempit yang tak
berlampu
Saat gerimis rinai menyapu daun-daun
berdebu
Basahkan jalan, segarkan tumbuhan semak perdu
Yang berjejer di kiri dan kanan jalan
becek berbatu
Tepat pukul tiga lewat tiga puluh tiga
pagi
Persis di bawah pintu gerbang sekolah polisi
Motor ojek yang aku tumpangi pun berhenti
Segera aku berikan Kentung pengojek
langganan
Uang recehan limaribuan yang ada
digenggaman
Lalu ku seberangi Jalan yang mulai penuh
kendaraan
Aku berdiri sendiri di tepi jalan raya berpayung
cembung
Yang bercorak klasik motif daun sembung
bunga kawung
Menanti tumpangan bus jurusan
Sukabumi-Pulo Gadung
Yang belum jua muncul sebab kemacetan
begitu kadung
Bunyi
kendaraan yang semakin bising meraung-raung
Adalah rebak rasa amarah yang kian
menggunung
Sementara gerimis rinai itu, pun belum
jua mau berhenti
Basahi, licinkan jalan sepanjang Jalan
Raya Ciawi-Sukabumi
Dari dalam lubang batu yang ditumbuhi
rumput ilalang
Tiba-tiba keluar seekor katak
melompat-lompat panjang
Dikejar ular welang warna hitam dan
kuning belang-belang
Saat lompat katak disergap tak berdaya
nyawapun melayang
Aku tak perduli dengan peristiwa tragis
katak yang perlaya-layang
Sebab bus Sukabumi-Pulo Gadung yang
kutunggu sudahlah datang
Akupun segera melompat ke dalam bus lewat
pintu belakang
Duduk riang di bagian belakang di bangku
tiga panjang lapang
Laju
menuju Jakarta ‘tuk laksanakan tugas yang menghadang
Yang harus diselesaikan dengan hati penuh
ikhlas dan tenang
Meskipun masih terngiang-ngiang dan
terbayang-bayang
Akhir hayat sang katak yang tragis
dimangsa ular welang
Yang timbulkan emphati rasa jantung
berdegup kencang
Aku akan selalu tetap sikapi hidup dengan
hening tenang
Karena kehidupan memang sudah ada yang
merancang
Dialah Sang Maha Raja Penguasa Jagad
Semesta Yang...
Yang Maha Menentukan, Yang Maha Menciptakan
Yang Maha Menghidupkan, Yang Maha
Mematikan
Yang ke-Mahaan-Nya adalah segala macam ke-Mahaan
Yang tak bisa lagi diungkap dengan makna
dan kata-kata
T U H A N
Jumat,
27 Juni 2014 11:34 wib
Bumi
Pangarakan, Bogor
MISTERI KUPU-KUPU
KECIL 1
Karya: Slamet Priyadi
saat aku buka dan hidupkan laptop
kupu-kupu kecil hitam itu hinggap di layar
meskipun hanya sebentar
lalu terbang dan hinggap lagi
di atas bungkus rokok anyar
yang baru aku beli semalam
di warung tetangga sebelah rumah
aku diamkan saja kupu-kupu kecil itu
aku biarkan sama sekali tak aku pedulikan
sebentar kemudian ia lalu terbang
melayang berputar-putar di atas kepalaku
dan hinggap lagi di atas bungkus rokok
yang baru saja aku ambil isinya sebatang
aku masih tak pedulikan kupu-kupu kecil itu
biarkan ia bertandang di atas bungkus rokokku
godek-godekkan kepala dan sulurkan semotnya
matanya menatap nanar ke arahku
yang sedang menulis tentangnya
dan aku masih diamkan saja
sesaat kemudian ia pun terbang lagi
berputar-putar kelilingi sinar lampu
sambil menghisap rokok dan minum kopi
aku terus menulis puisi ungkap inspirasi
tiba-tiba kupu-kupu kecil itu kagetkan aku
ia hinggap sebentar di telingaku
serasa menggelitikku
serasa mengusik jiwaku
kupu-kupu kecil itu bertandang
hinggap lagi di atas bungkus rokok
sambil kepak-kepakkan sayap hitamnya
sambil terus angkat-angkatkan kakinya
sambil julur-julurkan sulur semotnya
ke arah bungkus rokok, seperti
bicara
wahai kau aki tua!
hentikan saja kelepus hisap asap rokok
itu tak baik dan banyak mudharat
jaga sehatmu sebelum sakitmu
jaga hidupmu sebelum matimu
jaga usiamu sebelum ajalmu
Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 15 Maret 2014 - 05:18 WIB
MISTERI KUKPU-KUPU KECIL 2
Karya: Slamet Priyadi
Ada seekor kupu-kupu kecil mungil
Terbang melayang berputar-putar, lalu hinggap di wayang Semar
Yang hiasi dinding ruang tamu rumahku yang tak begitu besar
Aku sama sekali tak peduli dengan kupu-kupu kecil itu
Sebab sedang asyik saksikan pertandingan sepak bola
Antara tim Persija Indonesia melawan PDRM Malaysia
Yang pada akhirnya dimenangkan tim Persija dengan score satu-dua
Saat aku makan kue Bugis, dan reguk seteguk air kopi manis
‘tuk hangatkan badan dalam cuaca
malam yang semakin dingin menggrigis
Kupu-kupu kecil itu terbang berputar-putar sebentar di atas kepalaku
lalu hinggap lagi di wayang Semar, dan matanya menatap kearahku
Aku mulai peduli dan bertanya-tanya dalam hati
Kenapa kupu-kupu kecil itu hinggap dua kali di wayang Semar
Setelah terbang berputar-putar di atas kepalaku tadi?
Seakan menunjukkan kepadaku tentang apa, dan siapa tokoh Semar
Menyadari semua itu, aku segera beranjak dari bangku
Menuju dinding tempat wayang Semar yang bersanding dengan foto diriku
Lalu aku mengambilnya, sementara kupu-kupu kecil itu keluar berlalu
Aku tatap wajah wayang Semar yang nampak lugu dan lucu
Wajah Semar yang berwarna putih dan badan Semar yang berwarna hitam
Dua warna simbol kehidupan dunia di alam marcapada, alam keduniawian
Yang selalu hidup berdampingan, saling mengisi dalam harmoni keseimbangan
Dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan hewan, dan tumbuh-tumbuhan
Dalam kehidupan manusia, ada akal dan budi
Jika mampu memiliki dan memeliharanya dengan terpuji
Jadikan kita sejatinya manusia, manusia-manusia sejati
Manusia yang penuh mawas diri, tak mengumbar nafsu dan ambisi
yang kata-katanya dapat menjadi penyejuk jiwa
yang perilakunya dapat digugu dan ditiru, satu dalam sikap dan kata
Akan tetapi yang banyak terjadi dan nyata
Akal dan budi berjalan sendiri-sendiri
Akal hanya dijadikan alat kendaraan nafsu angkara murka
Untuk memintari, menipu, membohongi sesama
Hilangkan kehambaannya, lenyapkan kemanusiaannya dan sirnakan harga diri
Ada guru mencabuli muridnya, karena
tak mampu menahan birahi
banyak ibu membunuh bayinya, karena malu hamil di luar nikah
para penegak hukum sudah kehilangan muka karena menjual almamaternya
para pendawah kehilangan marwahnya karena kitab tak lagi acuannya
para politikus hilang kejuangannya karena ambisinya hanya kedudukan saja
para pejabat menyikat habis uang rakyat, korupsi merajalela di mana-mana
di setiap lini dan instansi dari hulu hingga ke hilirnya semua nyaris
terlibat
Budi tak lagi jadi kendali karena
dibebani beban nafsu yang kiat berkarat
Ketika rasa kantuk itu menyengat mataku
Aku termangu hanya bisa menatap televisi
dengan gambar-gambar suram
Bergerak-gerak tak jelas seperti
rumbai-rumbai malam yang semakin kelam
Sedikit berjalan agak gontai, aku kembalikan wayang Semar ke dinding
Yang letaknya bersanding dengan fotoku
Dalam kesadaran yang samar-samar, wayang Semar seperti bicara kepadaku,
“Jangan lupa, ya cu! Dengan sifat-sifatku yang harus kau teladani
Agar menjadi ageman dalam bertindak dan berprilaku di dunia ini!”
Bumi Pangarakan, Bogor
Senin, 30 Desember 2013 01:24 WIB
(SP091257)