Ki Hajar Dewantara ( 2 Mei 1889- |
Kamis,
01 Mei 2015 - 05:15 WIB - SETIAP tahun pada tanggal 2 Mei, Institusi
Pendidikan, khususnya di jajaran Kemendiknas secara nasional
memperingati “Hari Pendidikan Nasional”. Pertanyaannya adalah mengapa
peringatan Hari Pendidikan Nasional itu diperingati pada 2 Mei?
Jawabannya tentu kita sudah tahu. Akan tetapi mungkin saja di antara
kita banyak yang sudah lupa atau bahkan mungkin tidak tahu dan tidak
mengenalnya siapa sosok Ki Hajar Dewantara.
Nah, melalui tulisan inilah saya berupaya untuk membangkitkan kembali ranah kognitif kita memunculkan kembali ingatan kita pada sosok Ki Hajar Dewantara yang fenomenal itu. Tentu saja dalam rangka menghormati, mengenang jasa, dan meneladani sepak terjang serta perjuangan beliau yang begitu keras bagi kemajuan bangsa Indonesia khususnya dalam dunia Pendidikan Nasional kita.
Menurut sejarahnya, Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kota budaya yang dikenal juga dengan sebutan kota pelajar, Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ayahnya adalah seorang Pangeran bernama “Pangeran Suryaningrat” putra Paku Alam ke-4 dari Yogyakarta.
Selepas lulus sekolah dasar Belanda “ELS” ( Europesche Largere School ), beliau melanjutkan ke Sekolah Guru juga ke STOVIA. Akan tetapi di sekolah ini Ki Hajar Dewantara tidak bisa menyelasaikan studinya sampai selesai karena bea siswa yang diperolehnya dihentikan alias dicabut karena gagal dalam mengikuti ujian kenaikan tingkat.
Pelajaran yang bisa kita peroleh dari keteladanan beliau adalah pada sikap tegar tak kenal putus asa, meskipun beliau gagal dalam ujian, dan oleh karena itu pula bea siswanya sampai dicabut atau dihentikan, beliau sama sekali tidak kecewa, tidak putus asa bahkan tetap tegar menghadapinya. Hal ini dibuktikannya dengan aktif dalam kegiatan menulis yang lebih intens dalam organisasi pergerakan pemuda yang sebelumnya memang sudah digelutinya.
Beberapa tulisan beliau banyak menjadi pembicaraan dalam mesyarakat, bahkan dua buah tulisannya yang berisi kritikan terhadap pemerintah Kolonial belanda mendapat perhatian khusus. Kedua tulisan itu diberi judul, “Als Ik Een NederlanderWas” (Seandainya Aku Seorang Belanda), dan “Een Voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, Namun Semua untuk Satu Jagad).
Selain aktif menulis dan bekerja di sebuah Apotek Rathkamp, Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara pun aktif dalam berorganisasi. Beliau masuk organisasi “Boedi Oetomo” berada dalam divisi propaganda. Bersama-sama dengan Danudirja, Setyabudi, dan Cipto Mangunkusumo mendirikan “IP” (Indische Partij di Bandung.
Terlalu keras dan dianggap banyak menyulitkan pemerintah kolonial Belanda, ketiganya pun ditangkap dan diasingkan ke Negeri Belanda selama 6 tahun. Akan tetapi yang namanya Ki Hajar Dewantara memang memiliki sikap ketegaran yang luar biasa. Ia pantang menyerah dan terus berjuang keras membangun jiwa, membangun karakter bangsa. Di Negeri Belanda ini beliau memanfaatkan waktu luangnya dengan mengasah terus wawasan inteletualnya dengan belajar ilmu pendidikan sampai akhirnya memperoleh “Akta Guru Eopa” (Euroopeesche Akte).
Selepas pulang dari pengasingan selama 6 tahun dan memperoleh Akta Guru Eropa, Ki Hajar Dewantara mendarmabaktikan keilmuannya menjadi Guru di sekolah yang didirikan oleh sahabatnya Soeryopranoto. Di sekolah ini ia tetap berjuang keras untuk membangun jiwa, membangun karakter bangsa dengan berbagai pandangan-pandangan hidup dan pemikiran-pemikirannya yang berkait dengan karakter bangsa. Sampai pada akhirnya beliau Ki Hajar Dewantara mendirikan “Perguruan Nasiona Tamansiswa” (Onderwijs Institut Tamansiswa) pada tanggal 3 Juli 1922.
Karena ketokohannya dalam dunia pendidikan menjadikan beliau, Ki Hajar Dewantara dipercaya dan ditunjuk menjadi salah satu anggota PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) di era penjajahan Jepang. Beliau juga dipercaya terpilih sebagai Menteri Pengajaran Kabinet Pertama Republik Indonesia pada tanggal 2 September 1945. Beliau, Ki Hajar Dewantara terus berkiprah, berjuang tak kenal lelah dan putus asa, membangun jiwa, membangun karakter bangsa lewat pendidikan hingga pada akhir hayatnya.
Ajaran Ki Hajar Dewantara yang sampai sekarang tetap terpatri di setiap jiwa para pemimpin dan terutama para guru adalah:
1. Ing Ngarso Sung Tulodo” (di depan menjadi teladan),
Artinya bahwa seorang pemimpin haruslah mempuanyai sikap dan prilaku yang baik dan menjadi contoh suri tauladan bagi masyarakat.
2. Ing Madyo Mangun Karso” (di tengah membangun dan membangkitkan karsa),
Artinya bahwa seorang peminpin ketika berada di tengah-tengah masyarakat haruslah dapat menciptakan peluang-peluang agar masyarakat dapat berkarya dengan baik.
3. Tut wuri Handayani” (di belakang memberi dorongan semangat dan motivasi)
Artinya bahwa seorang pemimpin ketika berada di belakang haruslah menjadi pendorong semangat, menjadi motivator bagi masyarakat.
Beliau, Ki Hajar Dewantara, wafat pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Pemakaman Wijayabrata, Yogyakarta. Oleh karena jasanya yang begitu besar terhadap bangsa dan negara Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional tahun 1959. Dan, hari lahirnya pun diperingati sebagai “HARI PENDIDIKAN NASIONAL”.
Sebagai hormat dan sumbangsih penulis pada keteladan sikap, sepak terjang, dan perjuangan beliau serta untuk mengenang dan mengabadikan jasa-jasa beliau, penulis menciptakan satu lagu yang penulis beri judul “Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara”.
BAPAK PENDIDIKAN NASIONAL
“KI HAJAR DEWANTARA”
Ciptaan: Slamet Priyadi
Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara
Berjuang keras membangun jiwa
Membangun karakter bangsa
Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara
Ajarannya menjadi teladan
Bagi kita semua
Reffrein:
Ing ngarso sung tulodo
Di depan menjadi teladan
Ing madyo mangun karso
Di tengah membangun karsa
Tut wuri handayani
Di belakang memberi
Dorongan s’mangat dan motivasi
Penulis:
Slamet Priyadi 42, di Pangarakan – Bogor
Nah, melalui tulisan inilah saya berupaya untuk membangkitkan kembali ranah kognitif kita memunculkan kembali ingatan kita pada sosok Ki Hajar Dewantara yang fenomenal itu. Tentu saja dalam rangka menghormati, mengenang jasa, dan meneladani sepak terjang serta perjuangan beliau yang begitu keras bagi kemajuan bangsa Indonesia khususnya dalam dunia Pendidikan Nasional kita.
Menurut sejarahnya, Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kota budaya yang dikenal juga dengan sebutan kota pelajar, Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ayahnya adalah seorang Pangeran bernama “Pangeran Suryaningrat” putra Paku Alam ke-4 dari Yogyakarta.
Selepas lulus sekolah dasar Belanda “ELS” ( Europesche Largere School ), beliau melanjutkan ke Sekolah Guru juga ke STOVIA. Akan tetapi di sekolah ini Ki Hajar Dewantara tidak bisa menyelasaikan studinya sampai selesai karena bea siswa yang diperolehnya dihentikan alias dicabut karena gagal dalam mengikuti ujian kenaikan tingkat.
Pelajaran yang bisa kita peroleh dari keteladanan beliau adalah pada sikap tegar tak kenal putus asa, meskipun beliau gagal dalam ujian, dan oleh karena itu pula bea siswanya sampai dicabut atau dihentikan, beliau sama sekali tidak kecewa, tidak putus asa bahkan tetap tegar menghadapinya. Hal ini dibuktikannya dengan aktif dalam kegiatan menulis yang lebih intens dalam organisasi pergerakan pemuda yang sebelumnya memang sudah digelutinya.
Beberapa tulisan beliau banyak menjadi pembicaraan dalam mesyarakat, bahkan dua buah tulisannya yang berisi kritikan terhadap pemerintah Kolonial belanda mendapat perhatian khusus. Kedua tulisan itu diberi judul, “Als Ik Een NederlanderWas” (Seandainya Aku Seorang Belanda), dan “Een Voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, Namun Semua untuk Satu Jagad).
Selain aktif menulis dan bekerja di sebuah Apotek Rathkamp, Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara pun aktif dalam berorganisasi. Beliau masuk organisasi “Boedi Oetomo” berada dalam divisi propaganda. Bersama-sama dengan Danudirja, Setyabudi, dan Cipto Mangunkusumo mendirikan “IP” (Indische Partij di Bandung.
Terlalu keras dan dianggap banyak menyulitkan pemerintah kolonial Belanda, ketiganya pun ditangkap dan diasingkan ke Negeri Belanda selama 6 tahun. Akan tetapi yang namanya Ki Hajar Dewantara memang memiliki sikap ketegaran yang luar biasa. Ia pantang menyerah dan terus berjuang keras membangun jiwa, membangun karakter bangsa. Di Negeri Belanda ini beliau memanfaatkan waktu luangnya dengan mengasah terus wawasan inteletualnya dengan belajar ilmu pendidikan sampai akhirnya memperoleh “Akta Guru Eopa” (Euroopeesche Akte).
Selepas pulang dari pengasingan selama 6 tahun dan memperoleh Akta Guru Eropa, Ki Hajar Dewantara mendarmabaktikan keilmuannya menjadi Guru di sekolah yang didirikan oleh sahabatnya Soeryopranoto. Di sekolah ini ia tetap berjuang keras untuk membangun jiwa, membangun karakter bangsa dengan berbagai pandangan-pandangan hidup dan pemikiran-pemikirannya yang berkait dengan karakter bangsa. Sampai pada akhirnya beliau Ki Hajar Dewantara mendirikan “Perguruan Nasiona Tamansiswa” (Onderwijs Institut Tamansiswa) pada tanggal 3 Juli 1922.
Karena ketokohannya dalam dunia pendidikan menjadikan beliau, Ki Hajar Dewantara dipercaya dan ditunjuk menjadi salah satu anggota PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) di era penjajahan Jepang. Beliau juga dipercaya terpilih sebagai Menteri Pengajaran Kabinet Pertama Republik Indonesia pada tanggal 2 September 1945. Beliau, Ki Hajar Dewantara terus berkiprah, berjuang tak kenal lelah dan putus asa, membangun jiwa, membangun karakter bangsa lewat pendidikan hingga pada akhir hayatnya.
Ajaran Ki Hajar Dewantara yang sampai sekarang tetap terpatri di setiap jiwa para pemimpin dan terutama para guru adalah:
1. Ing Ngarso Sung Tulodo” (di depan menjadi teladan),
Artinya bahwa seorang pemimpin haruslah mempuanyai sikap dan prilaku yang baik dan menjadi contoh suri tauladan bagi masyarakat.
2. Ing Madyo Mangun Karso” (di tengah membangun dan membangkitkan karsa),
Artinya bahwa seorang peminpin ketika berada di tengah-tengah masyarakat haruslah dapat menciptakan peluang-peluang agar masyarakat dapat berkarya dengan baik.
3. Tut wuri Handayani” (di belakang memberi dorongan semangat dan motivasi)
Artinya bahwa seorang pemimpin ketika berada di belakang haruslah menjadi pendorong semangat, menjadi motivator bagi masyarakat.
Beliau, Ki Hajar Dewantara, wafat pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Pemakaman Wijayabrata, Yogyakarta. Oleh karena jasanya yang begitu besar terhadap bangsa dan negara Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional tahun 1959. Dan, hari lahirnya pun diperingati sebagai “HARI PENDIDIKAN NASIONAL”.
Sebagai hormat dan sumbangsih penulis pada keteladan sikap, sepak terjang, dan perjuangan beliau serta untuk mengenang dan mengabadikan jasa-jasa beliau, penulis menciptakan satu lagu yang penulis beri judul “Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara”.
BAPAK PENDIDIKAN NASIONAL
“KI HAJAR DEWANTARA”
Ciptaan: Slamet Priyadi
Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara
Berjuang keras membangun jiwa
Membangun karakter bangsa
Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara
Ajarannya menjadi teladan
Bagi kita semua
Reffrein:
Ing ngarso sung tulodo
Di depan menjadi teladan
Ing madyo mangun karso
Di tengah membangun karsa
Tut wuri handayani
Di belakang memberi
Dorongan s’mangat dan motivasi
Penulis:
Slamet Priyadi 42, di Pangarakan – Bogor
"MGMP SENI SMAN 42 JAKARTA": Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (2 M...: Denmas Priyadi - Jumat,, 01 Mei 2013 - 04:56 WIB Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1889-26 April 1959) ...