Menteri
Dalam Negeri RI Gamawan Fauzi. TEMPO/Nurdiansah
|
TEMPO.CO, Jakarta - Selasa, 26 November 2013 | 17:28 WIB
- Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi membantah pemeluk aliran kepercayaan
dipaksa memilih satu dari enam agama resmi dalam kolom agama pada kartu tanda
penduduk (KTP). Pemeluk aliran kepercayaan dipersilakan mengosongkan kolom
agama pada KTP. "Kalau dia di luar enam agama itu, kosongi saja,"
kata Gamawan di kompleks Gedung DPR, Selasa, 26 November 2013.
Gamawan menyatakan, pembubuhan kolom agama dalam KTP masih dalam proses pengkajian. Kementerian Dalam Negeri bersama Kementerian Agama sedang memetakan kepercayaan apa saja yang digolongkan aliran kepercayaan dan mana yang sekadar mazhab dari salah satu agama. Namun, ia tak mau menyebutkan contohnya. "Saya tak mau sebut contoh. Harus hati-hati sekali ini," ujarnya.
Menurut Gamawan, pemeluk aliran kepercayaan tak akan repot dengan adanya kolom agama di KTP. Ia mengklaim sudah puluhan tahun penganut aliran kepercayaan membubuhkan salah satu pilihan agama dalam KTP, dan hal itu tak menjadi masalah serius. Misal, orang yang mengaku menganut kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Buhun, Kejawen, Parmalim, atau Kaharingan, orang itu dianggap tetap memeluk agama resmi seperti Islam, Katolik, atau Protestan. "Meskipun memeluk aliran kepercayaan kan mereka tetap beragama. Biasanya begitu," kata Gamawan.
Sebelumnya, DPR telah mengesahkan RUU Administrasi Kependudukan menjadi Undang-Undang. Dalam revisi UU itu, tak ada perubahan dalam Pasal 64 ayat 1 tentang data di KTP. Tiap warga masih diharuskan memilih satu di antara enam agama resmi yang diakui pemerintah.
Dalam laporan kerja Komisi Pemerintahan DPR sebelum pengesahaan RUU tersebut pagi tadi, Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Arif Wibowo menyampaikan catatan Fraksi PDI Perjuangan terkait dengan pasal itu. Fraksi partai banteng itu mengingatkan pemerintah agar tak diskriminatif terhadap pemeluk aliran kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui pemerintah. Adapun Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengakui pasal itu membuat setiap warga harus memilih satu di antara enam agama resmi dalam KTP.
KHAIRUL ANAM
Gamawan menyatakan, pembubuhan kolom agama dalam KTP masih dalam proses pengkajian. Kementerian Dalam Negeri bersama Kementerian Agama sedang memetakan kepercayaan apa saja yang digolongkan aliran kepercayaan dan mana yang sekadar mazhab dari salah satu agama. Namun, ia tak mau menyebutkan contohnya. "Saya tak mau sebut contoh. Harus hati-hati sekali ini," ujarnya.
Menurut Gamawan, pemeluk aliran kepercayaan tak akan repot dengan adanya kolom agama di KTP. Ia mengklaim sudah puluhan tahun penganut aliran kepercayaan membubuhkan salah satu pilihan agama dalam KTP, dan hal itu tak menjadi masalah serius. Misal, orang yang mengaku menganut kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Buhun, Kejawen, Parmalim, atau Kaharingan, orang itu dianggap tetap memeluk agama resmi seperti Islam, Katolik, atau Protestan. "Meskipun memeluk aliran kepercayaan kan mereka tetap beragama. Biasanya begitu," kata Gamawan.
Sebelumnya, DPR telah mengesahkan RUU Administrasi Kependudukan menjadi Undang-Undang. Dalam revisi UU itu, tak ada perubahan dalam Pasal 64 ayat 1 tentang data di KTP. Tiap warga masih diharuskan memilih satu di antara enam agama resmi yang diakui pemerintah.
Dalam laporan kerja Komisi Pemerintahan DPR sebelum pengesahaan RUU tersebut pagi tadi, Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Arif Wibowo menyampaikan catatan Fraksi PDI Perjuangan terkait dengan pasal itu. Fraksi partai banteng itu mengingatkan pemerintah agar tak diskriminatif terhadap pemeluk aliran kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui pemerintah. Adapun Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengakui pasal itu membuat setiap warga harus memilih satu di antara enam agama resmi dalam KTP.
KHAIRUL ANAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar