Karya: Slamet Priyadi 42
Aku
baringkan tubuh saat kantuk akut sentuh mata
Di lamin bambu yang hanya beralas tikar pandan
tua
Saat
waktu lewat di perut malam pukul kosong
dua
Berselimutkan
kabut dingin yang rayapi malam gulita
Serasa
tiada ada batas tepi galaukan atma dan rasa
Sementara
malam terus berjalan tanpa terang cahaya
Wajah
tengadah ke langit nan pekat sepikan
suasana
Dan,
aku bercurah pada gelap dalam separuh
masa
Yang
tersisa di dalam jasmani, rohani, jiwa, dan raga
Yang
tuntut diri bercermin pada atma, pikir dan rasa
Kebebasan
itu adalah rantai belenggu kesucian naluri
Mengikat
kuat kebenaran bertandang munculkan diri
Mengekang
segala laku ‘tuk berbuat benar dan suci
Melepas
nafsu-nafsu angkara murka tak berbatas lagi
Yang
menjerumuskan dan hancurkan bangunan jiwani
Bercermin
pada pikir dan rasa berdasar ajaran Illahi
Yang
selalu lindungi, memproteksi jiwani dan
ragawi
‘Tuk
berbuat baik, bijak dan bajik tanpa dinasehati
Adalah
sikap perilaku terpuji dari dalam lubuk
hati
Yang
meski diapresiasi dan diekspresikan dalam diri
Jumat, 01 Mei 2015 – 15:00 WIB
Slamet Priyadi 42 di Pangarakan, Bogor
"ULAR
WELING DI PERIGI BUKIT CIBELING"
Karya: Slamet
Priyadi 42
Saat Surya pagi pancarkan sinarnya yang putih
keperakan
Merasuk celah-celah jendela bambu bilik kamar
peraduan
Dan sentuh keriput kulit wajahku terasa
menghangatkan
Sadarkan aku
dari gelap tidur lelap yang berkepanjangan
Kusingkap selimut tebal motif tumpal yang lekat di
badan
Lalu bangkit dari amben panjang mata menatap ke
depan
Nun, jauh di
sana nampak hamparan bukit hijau Cibeling
Diselimuti kabut nan putih yang menebari bukit
sekeliling
Sang mentari sembul di balik bukit sang fajar
menyingsing
Jalan panjang berbatu kelak-kelok kitari curamnya
tebing
Jernih air pancuran mengalir di parit solokan
menggasing
Bangkitkan hasrat ‘tuk langkah ke sana obati rasa
pening
Dan, aku pun
berangkat pergi tanpa alas di telapak kaki
Berjalan sendiri langkah mendaki bukit Cibeling yang
sepi
Menuruni
jalan terjal berbatu, mendaki jalan kelok tinggi
Di pancuran sebatang bambu hijau, air mengalir ke
perigi
Aku basuhkan muka bersihkan wajah dan bercermin diri
Dalam jernihnya air perigi tersembul wajah kotor
berdaki
Aku tersentak, terperangah, wajah itu wajahku
sendiri
Tampak jelek, dipenuhi bintik-bintik kutil tajam
berduri
Maka
kubenamkan muka selami lagi air
di dalam perigi
Di balik batu hitam, ada ular weling sepanjang dua
kaki
Ke luar
menjalar berkata seperti berpesan
menasehati
“Tuan, cepatlah kembali, jangan lupa keluarga sendiri!”
Pesan magis ular weling sadari aku dari apa yang
terjadi
Dengan pakaian basah kuyup aku pergi tinggalkan
perigi
Kembali ke pondok tua berbilik bambu milik aku
sendiri
Sambil pikirkan dengan segala kejadian yang baru
kualami
Tiba-tiba, aku terjatuh dari amben panjang yang
kutiduri
Dan, aku baru sadar, rupanya semua itu hanyalah mimpi
Sabtu, 02 Mei
2015 – 18:13 WIB
Slamet
Priyadi 42 di Pangarakan, Bogor
|
“DI BALIK
REKAYASA KUTAK KATIK KATA”
Karya : Slamet Priyadi 42
Sastra itu, karya imajinasi yang direkayasa
Mengkutak-katik kata-kata jadi satu tema
Menganalisa urai tema jadikan satu cerita
Gambaran empiris yang berdasarkan fakta
Bagus tak bagus
bergantung komposisinya
Indah tak indah ditentukan pada kata-kata
Yang dipilih dan disusun sedemikian rupa
Hingga pancarkan daya keindahan estetika
Kehidupan tanpa keindahan
adalah hampa
Keindahan itu adalah wujud bentuk rupa
Beragam bentuk gores sketsa warna-warna
Pemberian dari Tuhan Sang Maha Pencipta
Dan kitalah yang mengolah, membentuknya
Jadikan warna hitam,
putih, merah, hingga
Hijau, kuning, biru, dan warna yang lainnya
Tuhan, hanya menilai baik buruk karya kita
Tetapi kita teramat seringlah alpa dan lupa
Selalu menganggap karya kita bagus adanya
Berpamrih besar mengharap pujian manusia
Bersikap angkuh, suka carmuk, cari muka
Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 03 Mei 2015 – 1905 WIB
“KISAH NEGERI YANG TAK LAGI
BERWIBAWA”
Karya : Slamet Priyadi 42
Inilah
kisah cerita tentang negeri kacau-balau
yang
setiap pagi mentarinya bersinar kemilau
yang
dahulu hutannya begitu lebat menghijau
yang
bermacam satwa dendang riang berkicau
yang sawahnya
bentang luas di semua pulau
yang
penduduknya bersikap ramah memukau
Kini
semua itu seperti sudah tak nampak lagi
Hanya
sang mentari yang senyum sambut pagi
Pancaran
sinarnya merasuk sukma raga jiwani
Sehat
hangat sedikit menyengat terpa badani
Saat
berjalan sendiri tak seorang pun temani
Semua
pergi tinggalah aku bermenung sendiri
Hutan
yang dulu lebat menghijau ganti warna
Bermacam
satwa dulu riang di pohon berduka
Hamparan
sawah nan luas telah berubah rupa
Jadi
gedung tinggi yang berdiri kokoh perwira
bagai
bromocorah berkacak pinggang jumawa
Hiasi
Negeri berantah yang tak lagi berwibawa
Di
antara benar dan salah sukarlah beda dicari
Sebab
kebenaran Tuhan tak lagi jadi acuan diri
Kebenaran
oleh manusialah yang menjadi pasti
Merasa
paling benar di atas kebenaran sendiri
Merasa
paling pintar di atas kepintaran sendiri
Bersikap
angkuh, congkak, tak mau kontrol diri
Negeri
ini memang sudah kacau-balau dan anarki
Seperti
sudah tak ada sosok yang bisa diteladani
Di
hampir semua instansi terlibat kasus
korupsi
Perilaku
koruptif sudah membudaya, mentradisi
Diaktori
oknum pejabat politikus dan organisasi
Kejahatan
kriminal menyebar di seluruh negeri
Akan
tetapi, Nusantara adalah negeriku
tercinta
Di
mana jiwa dan ragaku ‘lah menyatu di dalamnya
Bersama tosan aji mantra sakti Garuda Pancasila
Aku
‘kan terbang layang kembara arung jagad raya
Kuak
mega-mega luluh-lantakkan angkara
murka
Ya,
Tuhan! jauhkan negeri kami dari mala
petaka
Senin, 04 Mei 2015 – 21:08 WIB
(Bumi Pangarakan, Bogor)
"BISIKAN RELIGI ANGIN PAGI"
Karya : Slamet Priyadi 42
Aku
langkahkan kaki berjalan tertatih-tatih
Di
jalan setapak yang becek, basah berbuih
Digenangi
air hujan gerimis yang turun lirih
Kudaki
jalan panjang berkelok dengan gigih
Berlatih
laku sabar meraih jiwa putih bersih
Semilir angin pagi yang berhembus
perlahan
Hujan
gerimis rinai yang basahi tetumbuhan
Jalan
yang dipenuhi belukar dan lata hewan
Tak
surutkan aku untuk teruskan berjalan
Melangkah
pasti telusuri bukit Pangarakan
Saat kakiku melangkah
tertatih, terseak-seok
Di jalan setapak yang
panjang berkelak-kelok
Dan
hujan gerimis bagai terus mengolok-olok
Ada desir semilir angin pagi berbisik selorok
Seperti
beri pesan religius yang penuh amok
Wahai tuan, makhluk Khalik Sang
Pencipta
Mengapakah masih berpolah angkara murka
Suka
sekali
menghujat, menghasut,
memfitna
Bersikap tamak, sombong, busungkan dada
Padahal kau itu hanya makhluk tak berdaya
Mekploitasi air,
daratan, udara di
mayapada
Bahkan kutak-katik korupsi uangnya negara
Adalah peristiwa
keseharian nyata dan fakta
Semua tak bisa lagi ditolerir keberadaannya
Sudah
jauh dari etika
dan perilaku beragama
Wahai manusia
makhluk Khalik Sang Pencipta
Jika Rab kita,
Tuhan kita sirnakan kasih-Nya
Jika Sang Khalik Pencipta Semesta ini murka
Tiada ada makhluk di
dunia mampu menunda
Karena itu, jauhkan perilaku kotor ternoda!
Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 09 Mei 2015│05:27 WIB
Bumi Pangarakan, Bogor
KEMBARA KE ALAM KAMA GARWA
BERSERAH
DIRI DENGAN PUJA DAN PUJI
Karya
: Slamet Priyadi 42
Di dalam
dirimu bersemayam sifat tetumbuhan
Tumbuh
alami berkembang dalam habitat insan
Berprinsip
biologis dengan gunakan lingkungan
Berakar
jalar melar dan besar dalam kebebasan
Di dalam
dirimu juga bersemayam sifat khewan
Selalu
manjakan selera dan keinginan-keinginan
Rasa laku
hewan yang harus terus dipancarkan
Derak
gerak ‘tuk hidup di dalam keseimbangan
Di dalam dirimu pun semayam sifat intelektual
Mampu
temukan benar-salah dalam laku netral
Mampu
memilahkan tentang baik-buruknya soal
Bisa
kendalikan emosi pikir rasa secara gradual
Di dalam dirimu malah bersemayam sifat Tuhan
Mau
memberi mengasihi meskipun harap imbalan
Bisa
berkarya, bisa mencipta meski masih tiruan
Tapi kamu
aku juga kita semua bukanlah Tuhan
Maka
selayaknya dan seharusnya kita serah diri
Selalu
terima kasih, berdoa, memuja tiada henti
Ke hadhirat
Tuhan Maha Kasih, Maha Pemberi
Pencipta
jasmani rohani Penentu hidup dan mati
Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 10 Mei 2015 – 08:17 WIB
Karya : Slamet Priyadi 42
Aku
kembara ke alam kama garwa saat terlelap panjang
Mimpi
indah tentang garwa yang telah lama
sirna hilang
Di saat
hampa sukma jiwani raga terasa melayang-layang
Menghiasi
alam mimpi seraut wajah bentang membayang
Senyum
di kulum goda hasrat jiwa nan kering kerontang
Jerat
belenggu kuat tubuh terikat raga pun
terlentang
Serasa jiwa
kosong hampa gamang bukan alang kepalang
Terlelap
di dunia gelap terjatuh di saat mabuk kepayang
Maka
sukma jiwa jasmani raga pun terasuk nafsu kama
Langlang
pancang berkayuh kencang di samudra
cinta
Bersama
garwa di taman sari mandi wangi bunga-bunga
Kembang
warna-warni pancar kemilau sutera dewangga
Raib
sirna segala nestapa hanyut dalam
nikmatnya rasa
Terus
berkayuh manjakan kama meski tiadalah berdaya
Terus
saja larut tak pernah surut di dalam kama garwa
Serasa
jiwa gamang terumbang-ambing tak ada arahnya
Di
dalam lelah lemahnya raga, dalam lelah luluhnya jiwa
Atmaku
menjalar ke luar mematuk kulit naluri sukma
Ajak
kembali ke balairung istana indah tak ada duanya
Istana
tempatku bermanja, bercanda bersama keluarga
Istana tempatku
berkeluh-kesah di saat gundah gulana
Ungkapkan
isi jiwa yang acapkali datang meronta-ronta
Paparkan
segala peristiwa putuskan belenggu problema
Untuk jadikan
mahligai rumah tangga keluarga bahagia
Maka
kubentang sayap terbang tinggalkan nafsu kama
Yang
selama ini belenggu kuat-kuat naluri putih di jiwa
Kepak
sayap melayang gancang tinggalkan dunia garwa
Kembali
ke istana indah hidup rukun di dalam keluarga
Maka kulempar
lontar nafsu birahi kama dari angkasa
Arahkan
ke istana yang terindah garwaku satu-satunya
Nun
jauh di balik lereng gunung Salak nan sejuk cuaca
Di
Kampung Pangarakan, Bogor, Jawa Barat Indonesia
Senin, 11 Mei 2015 – 23:05 WIB
Slamet Priyadi di Pangarakan, Bogor
“MENYATULAH DALAM KASIH
TUHAN”
Karya : Slamet Priyadi 42
Awal
mengkaji referensi religi ialah kepercayaan
Diyakini
secara imani dan akali bagi setiap insan
Jangan
baur dengan ragu sangkaan dan dugaan
Sebab
kepercayaan adalah landas utama pijakan
Yang
diseru utusan Tuhan untuk insan ciptaan
Di
dalam segala gerak melangkah hidup manusia
Harus
dilambari dengan kokohnya yakin percaya
Dengan
kasih dan kuasa Tuhan Maha Pencipta
Yang
dengan adaNya kita semuanya menjadi ada
Yang
berkat adaNya, kita berada di marcapada
Dan,
kita semua pun alami derita, duka nestapa
Kemana
pergi tak bisa melepas belenggu samsara
Karena
segala nafsu dunia terus saja menggelora
Berontak-rontak
keras meronta-ronta dalam jiwa
Tak
bisa diredam apalagi dipendam di dalam rasa
Maka,
hanya dengan kasih dan kuasa Tuhan saja
Segala
penderitaan dan kesengsaraan hidup sirna
Berubah
berganti rasa, jadikan suka dan bahagia
Karena
segala kehendak keinginan di ranah jiwa
Jadi
berwujud nyata di alam maya maupun baka
Maka,
hidup dan menyatulah dalam kasih Tuhan
Dalam
keyakinan kepercayaan akan kuasa Tuhan
Kasih
pada sesama insan, kewan, alam tumbuhan
Lenyapkan,
segala kesombongan dan kedumehan
Yang
bisa buat kita terperosok dalam kehancuran
Kamis, 14 Mei 2015 – 08:07 WIB
Bumi Pangarakan, Bogor
“ D I A ”
Karya : Slamet
Priyadi 42
Pada awalnya hanyalah kosong dan hampa semata
Kosong hampa tak ada bentuk rupa hanyalah Dia
Yang keberadaan-Nya tak ada awal dan akhir-Nya
Maka atas kuasa dan kehendak Dia tercipta ada
Adanya alam langgeng baka dan alam sementara
Pada alam kelanggengan baka neraka, tempatnya
Manusia-manusia durjana penuh angkara murka
Pada alam kelanggengan baka swarga, tempatnya
Manusia-manusia yang berbudi luhur, suci mulia
Pun ada alam maya sementara, alam marcapada
Pada alam fana
di alam marcapada, tempatnya
Manusia-manusia
berolah atma, pikir dan rasa
Kelola
lingkungan tumbuhan, khewan, manusia
Di dalam umbar segala nafsu-nafsu jasmani raga
Ataukah naluri hati nurani putih bersihnya jiwa
Dan semua yang ada segala makhluk ciptaan-Nya
Haruslah tunduk dan patuh pada perintah-Nya
Sebab Dialah Sang Maha Raja adil seadil-adilNya
Penentu baik-buruknya, benar-salahnya manusia
Sebagai khalifah di bumi maya, alam marcapada
Bumi
Pangarakan, Bogor
Kamis, 14 Mei
2015 – 22:35 WIB
“KIDUNG LARA KALI SADANE”
Karya: Slamet Priyadi
Gemericik air
kali Sadane yang membentur batu
Bunyi
suara kemerisik daun-daun pohon bambu
Bunyi jangkrik yang terus mengerik di balik kayu
Bunyi
orong-orong dan kodok-kodok bangkong
Bunyi
suara rintihan anjing hutan yang
melolong
Adalah konserto
simphoni kloro-loro bolo kalong
Sementara manusia pongah, tamak, dan serakah
Masihlah
seperti vampir-vampir penghisap darah
Berjalan
dada kepala tengadah pamerkan gagah
Siapa
mencegah disumpah serapah sampai kalah
Sebab
di belakangnya ada uang harta berlimpah
Yang
bisa tentukan sang pembenar jadilah salah
Kidung Sadane
harmoni kehidupan mimpi bolong
Ungkapan
rintihan alam yang kosong melompong
Dibalak,
digasak, dirusak, oleh sang para garong
Maka
luluh lantaklah lingkungan di segala ranah
Alam
rusak dieksploitasi sungai dicemari limbah
Bermacam-macam
ragam sampah melimpah ruah
Muak
saksikan segala tingkah polah para bucirit
Yang tak mau berhenti dan
terus saja menggigit
Sebelum perut menjadi tambun dan membuncit
Maka, ku langkahkan
kaki turuni tepian Sadane
Melalui jalan
setapak berundag batang kayugede
Dan, di atas sebongkah batu sebesar kerbo bule
Aku baringkan tubuh kepala tengadah
ke akaca
Langit
biru yang berhiaskan sang Dewi Purnama
Berjuta
kemintang kerlap-kerlip indahnya kejora
Cahyanya
sejukkan
hati nan lara gundah gulana
Raibkan atma carut padamkan bara
api di dada
Sirnakankan
rasa amarah yang bergejolak di jiwa
Bumi Pangarakan, Bogor
Jumat, 15 Mei 2015│21:45 WIB
“ALAM PUN IKUT MERADANG”
Karya : Slamet Priyadi
Saat lampu listrik itu padam di tengah malam
Suasana
gulita pun terasa semakin mencekam
Rupa
Sang Putri Dewi malam nampak muram
Bercadar
selimut kabut bertabir awan hitam
Tiada
lagi sinar keemasan di peraduan malam
Semua
yang ada nampak semakin menghitam
Sehitam
suasana hati yang terasa jadi geram
Lihat
tingkah polah laku manusia kotori alam
Riak
air sungai Cisadane yang mengalir searah
Sentuh
bebatuan percik rona-rona raut wajah
Memercik
air merah disengat bau anyir darah
Ayam-ayam
potongpun melolong raiblah wajah
Sementara
kelelawar hitam keluar dari sarang
Kepakkan
sayapnya terbang layang liar garang
Sergap
mangsa sang laron nyawa pun melayang
Tinggal
sang katak hatinya pun jadi meradang
Suara
serangga orong-orong di pohon singkong
Lolong
anjing pengalasan terus menggonggong
Adalah
kidung nyanyian kloro-loro bolo katong
Yang
tiada pernah henti terus saja merongrong
Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 16 Mei 2015 – 07:38 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar