BIMA SENA |
Kadibyan Akaca - Sabtu, 21/09/2013 - 12:32 - Lakon Dewa Ruci dalam
kisah pewayangan merupakan salah satu cerita karangan para pujangga Islam yang
lebih dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Dalam buku, De
Heiligen van Java, halaman 150 yang ditulis oleh Dr. D.A. Rinkes, dinyatakan
bahwa, “Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang baru, dan menyelenggarakan
pertunjukan-pertunjukan wayang dengan upah baginya sebagai dalang berupa Kalimat Syahadat.”
Berkait dengan hal tersebut di atas, Prof.
Adnan dalam kata sambutannya pada acara penyerahah rumah-rumah bagi
para dosen IAIN Demangan, Yogyakarta pada tanggal 14 Juli 1962 menyatakan :
“Masyarakat
kita bangsa Indonesia (Jawa) masih gemar sekali kesenian wayang, mulai zaman
dahulu hingga sekarang, baik di desa maupun dikota. Oleh karena itu Wali Sanga
memperhatikan hal tersebut untuk keperluan memasukkan da’wah Islamiyah.”
Dalam lakon Dewa Ruci yang religius
itu dikisahkan, upaya dan tekad keras Bima atau Arya Sena yang ingin
mendapatkan air suci kehidupan, “Tirta Perwita Sari.” Berbagai macam percobaan dan tantangan serta
godaan yang sangat berat dihadapi Bima, akan tetapi Bima pada akhirnya mampu
mengatasinya dan Bima berhasil menemukan dan mendapatkan air suci Tirta Perwita Sari yang berujud Dewa
Ruci yang bukan lain adalah dirinya sendiri.
Lakon Dewa Ruci mengandung makna filsafat tentang tasauf Islam yang
sangat mendalam oleh karena menggambarkan seorang kesatriya dengan kemauan
spiritualitas yang keras untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya agar bisa
membawa manusia kepada kebahagiaan yang kekal dan abadi di Syurga.
Siapakah Dewa Ruci sebenarnya? Dewa Ruci berarti Dewa yang halus dan lembut,
adalah dewa dari Bima atau Arya Sena yang merupakan perwujudan dari pribadinya sendiri
yang sesungguhnya.
“Apakah cukup jika aku masuk ke dalam
raga kamu yang begitu kecil?”
“Ha ha ha… jangankan hanya sebesar
badanmu, dunia dan segala macam isinya ini dapat masuk ke dalam ragaku!” demikian jawab Dewa Ruci
sambil tertawa terbahak-bahak.
Ini sebagai gambaran atau symbol
bahwa kejiwaan manusia lebih luas dari dunia seisinya. Dalam bentuk wujudnya Dewa Ruci
digambarkan bermata bulat, hidung dempak, berambut gimbal terkembang, berkuku
“Panco Noko”, berkain kotak-kotak segi empat, dan bersepatu ciri seorang dewa.
Bentuk tubuh dan raut muka sama persis dengan Bima hanya lebih kecil.
Sudah kita ketahui bahwa cerita
wayang tentang Dewa Ruci adalah karangan pujangga Islam penyebar agama Islam di
Jawa era pemerintahan kerajaan Islam Demak, oleh karena itu analisa cerita
wayang Dewa Ruci berkait erat dengan ajaran Islam. Analisa berikut adalah saya kutip dari buku
“Unsur Islam Dalam Pewayangan” karangan Drs. H. Effendi Zarkasi dari pendapat
Ki Siswo harsoyo dalam buku “Guna Cara Agama.”
Berikut adalah kutipannya:
- Di dalam cerita Dewa Ruci, Bima atau Arya Sena berguru kepada Guru Dorna yaitu orang yang dianggap bisa memberi petunjuk yang benar, berilmu tinggi secara spiritual. Memiliki ilmu tinggi baik keduniawian maupun kerokhanianya, orang yang alim.
Analisa :
Bagi orang yang ingin
mendalami agama (arti tauhid), dia harus berguru kepada orang yang dianggap alim (berilmu dan berakhlak baik)
minta petunjuk jalan (thariq). Jelasnya meminta wejangan tentang ilmu
thariqat. Meskipun seorang guru
terkadang ada juga yang menyesatkan, akan tetapi karena Bima berpendapat kuat
bahwa guru adalah sosok yang jujur, berilmu, beriman dan berakhlak baik, maka
apa yang dikatakan gurunya selalu dipatuhinya, sebagaimana kata ulama yang
berbunyi demikian:
“Tangan (kekuasaan) Allah
itu mengendalikan mulut cendikiawan, tidak akan dia mengucap, kecuali hanya
kebenaran dari Allah”. (Al Ghazali, Ihyaa ‘Ulumuddin, Jilid III halaman 26.
)
- Setelah bertemu dengan guru Dorna, Bima mengutarakan keinginannya untuk mencari Tirta Perwita Sari, air suci untuk kesucian hidup manusia. Oleh gurunya Bima disarankan agar membongkar gunung Reksamuka.
Analisa :
Orang yang akan berguru
ilmu thariqat tidak akan bisa diterima sebelum terlebih dahulu melepaskan
segala keinginan dan nafsu keduniawian dari dirinya, hatinya harus dibersihkan
terlebih dahulu. Ini memang sesuatu yang sangat berat untuk dijalani seperti
beratnya membongkar gunung. Memang untuk
sampai ke ilmu thariqat itu harus melalui jalan terjal, berliku-liku,
bermacam-macam godaan dan tantangan yang penuh dengan kesukaran-kesukaran. (Reksamuka
= rumeksa ing gelar, benteng hidup keduniawian). Pekerjaan ini memang berat, sebab dia
harus menjauhi keduniawian yang menjadi
hiasan manusia. Sebagaimana Firman Tuhan
:
“Telah dihiasi manusia
dengan kesukaan-kesukaan kepada barang yang diingini, yaitu wanita-wanita dan
anak-anak, (perhiasan) emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk, kuda (kendaraan)
yang bagus, binatang ternak, sawah lading, yang demikian itu perhiasan di
dunia, tetapi di sisi Allah ada tempat kembali yang baik”. ( Al-Qur’an, S. Ali Imran:
14 )
- Bima mematuhi petunjuk gurunya, lalu pergi untuk membongkar gunung Reksamuka.
Analisa :
Setelah orang yang berguru
telah diberi petunjuk, harus taat dan patuh untuk menjalani dan mengerjakannya
dengan penuh keikhlasan betapapun berat dan sukar, meskipun harus meninggalkan
keduniaan yang dicintainya.
- Setibanya di gunung Reksamuka Bima terus mengobrak-abrik, menghancurkan segala makhluk jahat yang ada di gununug tersebut. Terjadilah pertempuran antara Bima Arya Sena dengan dua makhluk raksasa penghuni gunung Reksamuka yaitu, Rukmuka dan Rukmakala.
Analisa :
Orang yang sedang berusaha
mensucikan diri harus mampu memerangi dan mengalahkan segala macam godaan
keduniaan. Raksasa Rukmuka merupakan
gambaran pancaindra yang apabila tidak berhati-hati selalu saja membawa manusia
kepada kesesatan. Sedangkan Raksasa
Rukmakala adalah gambaran akal budi yang juga sering menyesarkan manusia. Dia harus mampu mengalahkan godaan hawa nafsu
jahat agar dapat mencapai kebahagiaan.
Firman Tuhan mengatakan :
“Adapun orang yang takut
akan kebesaran Tuhannya dan orang yang dapat mencegah hawa nafsunya, Syorgalah
tempatnya”. ( Al-Qur’an, S. An-Naziaat: 40-41)
- Dalam pertempuran itu Bima Sena dapat menumpas kedua raksasa Rukmuka dan Rukmakala.
Analisa :
Bahwa bagi orang yang
telah mampu menundukkan dan mengendalikan hawa nafsunya maka akan selamatlah
dia, sebagaimana Firman Tuhan :
“Dan Allah selamatkan
mereka yang berbakti dengan sebab terluput mereka (yakni tidak disentuh oleh
kejelekan), dan tidaklah mereka akan duka cita”. (Al-Qur’an, S.
Azzumar: 61) [SP091257]
Referensi :
Unsur Islam Dalam
Pewayangan, Drs. H. Effendi Zarkasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar