Neng Karangdhempel leledhang Kiai Lurah Semar sepranakane Miyat kebon, kebon tegal lan aleren Sami ngundhuh tarupala Suka sindhen sesendhonan Sarwi anjoged genti-genti.
SEKAR tengahan pranasmara ini memberi gambaran ketika Semar
sekeluarga sedang cuti. Semar adalah Ketua Dewan Pamomong di Kabupaten
Madukara. Bupatinya Drs Janaka SH, MSi, MBA, MM, terpilih karena kakaknya jadi
presiden di Republik Amarta dan berkolusi dengan para pengusaha pembalak hutan.
Sebetulnya Semar sedih menghadapi kenyataan ini, apalagi Bupati Janaka suka
main asmara dengan artis-artis. Malah sudah beredar rekaman adegan porno antara
Janaka dengan seorang ronggeng Ibu Kota. Tambah lagi, banyak anggota dewan yang
dipimpin terpilih dengan modal ijazah palsu, dan kini hidup sangat pragmatis,
kemaruk, licik, dan luar biasa kagetan. Tapi Semar sudah lama sadar seburuk apa
pun kenyataan yang ada, semuanya harus diterima. Right or wrong is my
country. Dan dia adalah pamomong.
Jadi pamomong memang berat dan sering membuat hati
Semar sangat tertekan. Maka ketika datang waktu cuti Semar membawa anak dan
istri liburan ke kampung halaman, Karangdhempel. Tidak ke Bali atau ke Jakarta
untuk bersenang-senang? O, itu bukan cuti, bukan, leren apalagi lerem.
Cuti adalah ngaso, gawe aso, melambatkan perputaran cakra kehidupan.
Bagi Semar, cuti harus berarti leren dan lerem. Leren
adalah istarahat raga yang dibarengi jiwa yang lerem. Maka dalam waktu
cuti itu Semar tidak pergi ke tempat lain untuk berhura-hura, tetapi pergi miyat
kebon, melihat kebun. Dan di kebun itu Semar dan keluarga tidak bertindak
sebagai tuan tanah, tapi sebagai pembaca sastra kang gumelar untuk menambah
kearifan hidup.
Ngundhuh tarupala; taru adalah pohon, pala adalah buah.
Apakah ngundhuh tarupala berarti memetik buah-buahan? Bagi anak-anak
Semar, itu benar. Namun bagi Semar sendiri pemahamannya lebih dari itu. Ngundhuh
tarupala bukan hanya memetik melainkan juga mengambil pelajaran dari
pepohonan dan buah-buahan.
Pepohonan adalah peraga amat baik yang disajikan alam
untuk bahan pemelajaran bagi siapa saja yang ingin selalu menambah kekayaan
jiwa. Lihatlah, betapa tak ada pepohonan yang merusak tanah di bawahnya atau
menjadikannya tidak subur. Pepohonan menahan air dengan akar-akarnya untuk
menghidupkan beragam jenis bakteri dalam tanah. Daunnya yang berguguran akan
membusuk dan dengan demikian zat-zat hara akan dikembalikan ke asalnya.
Pepohonan menghasilkan buah yang akan menjadi makanan
buat berbagai jenis binatang dan manusia. Pepohonan pada siang hari
menghasilkan oksigen yang menjadi unsur vital dalam kehidupan manusia maupun
binatang, bahkan mesin-mesin. Pada buah-buahan pun banyak sekali pelajaran.
Buah durian misalnya. Di dalam buah ini ada biji yang akan tumbuh dan menjadi
pohon baru. Namun agar bisa hidup lebih baik maka pohon baru harus tumbuh jauh
dari induknya. Durian tak punya tangan atau kaki untuk membawa bijinya menjauh.
Maka durian akan memberi upah kepada binatang yang mau mebawa bijinya pergi. Binatang
itu adalah kera, musang, dan juga manusia. Dan upah yang disediakan berupa
daging buah yang lembut, manis dengan aroma khas durian.
Ketika memerhatikan anak-anaknya yang sedang memetik
buah-buahan itu Semar tersenyum. Andaikan semua manusia seperti pepohonan itu
yang selalu hidup dengan menghidupi mahluk-mahluk di sekelilingnya, yang tumbuh
dan berkembang dengan menjaga keseimbangan dengan mereka yang hidup di
sekitarnya.
Selesai ngundhuh tarupala, anak-anak Semar
bergembira ria, bertembang dan menari berganti-ganti; suka sindhen
sesendhoan, sarwi anjoged genti-genti. Semar membiarkan anak-anaknya terus
bertembang sambil menari. Karena dia tahu tembang dan tarian itu bukan umbaran
nafsu melainkan ekspresi yang spontan dan sederhana atas rasa syukur kepada
Sang Pemberi buah-buahan.
Namun semua kegembiraan di Karangdhempel tiba-tiba
berhenti ketika dari jauh terdengar tabuh bertalu. Bedhug. Itu menandhakan
matahari sedang berada pada titik kulminasi langit. Radiasi matahari sedang
berada pada puncak intensitasnya. Segala sesuatu yang ada di alam raya menjadi
lebih peka dan keseimbangannya sedang rawan. Maka semua kegiatan harus leren,
ngaso, berhenti. Manusia harus menunggu sampai alam lerem kembali
sebelum memulai kegiatan selanjutnya. Kalau tidak dia bisa terhisap dalam
pusaran ketidakseimbangan alam yang akan berpengaruh buruk pada dirinya. Maka
Semar dan anak-anaknya duduk diam di bawah pepohonan. Mereka diam dan menunggu
sampai matahari tergelincir.
Pulang dari Karangdhempel, Semar masuk kembali memimpin
Dewan Perwakilan Pamong di Kabupaten Madukara. Leren, ngaso, atau cuti
telah membuat raganya lebih segar dan jiwanya lebih kaya. Leren adalah
menengok sebentar ke belakang untuk melihat apakah langkahnya tidak menyimpang.
Ini penting karena Semar amat sadar lintasan hidupnya akan berakhir pada leren
yang sebenarnya, yakni ketika bali marang pangayunaning Pengeran sudah
tiba. Agar bisa pulang dengan selamat alur hidup yang ditempuh tidak boleh
sesat. Upamane wong agesang, tan wurung mulih. Leren. (SuaraMerdeka.com - 04 MARET 2013)
(/CN37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar