Oleh Herman
Andreij Adriansyah
Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai
Herma Andreij Adriansyah |
Warisan Adi Adiluhung – Senin, 31 Januari 2011 - Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami
pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi
dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras
adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru
disertai dengan upaya...-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina,
memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai
kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan
harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya.
Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian
masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara
sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung
di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.
Tidak berhenti
disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara
memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal
dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi
ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa)
Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para
“pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan,
istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana,
kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif
disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local
wisdom”.
Akibatnya;
istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi
makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan”
dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon
tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian
makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat
religius sbb;
Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang
dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan
gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang
Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah
dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan
istilah tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang
berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat
mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran
Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat
di dalam rukun Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan
doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan
sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang
dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa
sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih
dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not
action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb
sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam
berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran,
ucapan, dan tindakan.
Upacara-upacara
tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada
lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup
berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan.
Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk
tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang
diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi
ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu,
asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta
memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan
Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan
anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan
budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai
biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus
dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane,
justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini.
Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah
membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga
berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.
Ajaran Tentang
Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati
Dalam khasanah
referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya
penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad,
yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis
dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam
bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh,
sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang
memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau
penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan
moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi
pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala
sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan
seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari
kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang
berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak
dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah
makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah
jelas pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai
kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk
watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh.
Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang
diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa
dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai
moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup
manusia.
Dua Ancaman
Besar dalam Ajaran Kejawen
Dalam ajaran kejawen,
terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling
lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu
dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan
hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur
yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam
perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena
menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir
maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang
memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut
kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga
manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi
pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya,
manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan
merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan.
NAFSU
Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ; sikap
perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima
indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama
tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka
pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal
kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita
sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal
kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua
kejahatan yg pernah dilakukannya.
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air
sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik
Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama
alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam.
Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau
keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu
akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata
krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan
“daratan”.
PAMRIH
Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego).
Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego).
Karena itu,
pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin.
Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan
nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan
kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya
sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan
batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor
penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti. Pamrih
itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang
dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh
perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk
melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting Sabdalangit
kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam
perspektif KEJAWEN :
1.
Nafsu selalu
ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu
ingin menangnya sendiri.
2.
Nafsu selalu
menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
3.
Nafsu selalu
mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan
buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung
berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang
tertindas.
Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga
kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama,
perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama,
sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha
sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna,
yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama)
mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan
tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta,
sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul
mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh
jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur
sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan
mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat
kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.(budayaleluhur.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar